DUA PULUH : KITA #4

DUA PULUH : KITA (CERBUNG) - Pintu terkunci, Ribi mencari celah untuk sekedar memastikan keadaan Meta di dalam sana. Aku sibuk mencari cara agar daun pintu itu terbuka.

“Meta di dalam, Za. Kayaknya pingsan.”

“Ok. Kita jangan panik. Semua pasti bisa kita selesaikan.”

Aku mencoba untuk tenang. Ini perkara penyelesaian, pikirku. Maka dalam keadaan terhimpit seperti ini aku berusaha untuk menetralkan perasaan terlebih dahulu, setelahnya baru mencari jalan sebagai solusi agar segala masalah teratasi. Entah langkah yang dimulai dari mana, aku berkutat mencari sebatang kawat. Ditemukan. Kubentuk seperti kaitan. Memasukkannya ke dalam celah kunci, sedikit memutar perlahan, agak lama. Dan akhirnya. Huffttt,... Pintu terbuka.

Ribi bergegas lari menuju Meta yang tengah pingsan. Akalnya tak juga berhenti. Sebentuk pertolongan pertama sederhana untuk memulihkan keadaannya.

“Meta cuma pingsan biasa. Kita tunggu saja sampai dia siuman.”

Apalah yang terjadi pada Meta, batinku dalam hati, ketika kulihat wajahnya pucat pasi. Gurat-gurat wajahnya terlihat begitu kelu. Ada sebuah gundah yang berkelana. Gundah yang terikat letih pada wajah hari. Agh, entah apa pula yang disembunyikan Meta. Aku tak tahu, tapi pasti ini cerita besar. Aku kenal Meta. Gadis berbalut busana muslim yang kerap pergi ke musholla sekitar pukul sembilan pagi untuk shalat Dhuha. Bayangkan, untuk shalat Dhuha pun ia seolah enggan meninggalkan, apalagi untuk shalat lima waktunya.
Senja mulai berlabuh pada langit yang biru. Burung-burung pulang ke selatan. Aku bersama Ribi masih terpaku tunggu di kamar Meta. Gadis ini belum juga siuman. Sesaat ada hasrat untuk membawanya pergi ke klinik saja. Tapi, Ribi menepis inginku. Katanya lebih baik menunggu dulu, agar tahu duduk perkara tentang muasal sebab mengapa Meta bisa jadi seperti ini. Ribi terlalu meyakinkanku bahwa Meta akan siuman.

Dan syukur yang tak terhingga, akhirnya Meta siuman pula setelah hampir lima jam tak sadarkan diri dalam pingsannya. Lemas masih berjelaga dalam tubuhnya, matanya sayu berimbang perih akan sebuah derita yang belum kami ketahui.

“Ta, kami tidak tahu seberapa besar beban pikiran yang sedang kau emban. Tapi, seberat apapun itu, kau tahu kalau kau punya kami.” Ungkap Ribi memulai pembicaraan.
Meta hanya terisak tertahan.

“Ta, kau tak perlu cerita bila ada enggan yang mengganjal di hatimu, tapi kami ingin ada di sampingmu untuk menguatkanmu. Untuk memberitahukanmu bahwa kau punya kami.”

“Aku, akuu,...” Meta terbata.

“Tak usah dipaksa, Ta. Bila belum mau cerita. Masih ada ribuan esok. Sekarang yang terpenting kau harus kuat. Istirahatlah. Kami akan menemani sampai besok.”

Kemudian Meta kembali rebah di atas kasurnya. Aku dan Ribi tidur pula di atas ambal di bawah kasurnya. Malam merenggut senyumnya. Senyum si gadis berjilbab yang tak pernah meninggalkan shalat Dhuha. Kami terlelap dalam lelah.

***
Entah pukul berapa ketika kudengar suara tangisan merintih dari arah kamar mandi. Aku dibangunkan paksa oleh suara tersebut. Kusenggol pundak Ribi yang tengah terlelap juga. Seketika kulirik Meta tak lagi di tempatnya.

“Bi, Meta kemana?”

“Hmmmmm... Apa sih? Masih malam kan? Kok udah dibangunin sih? Masih ngantuk nih.”

“Bi, serius. Meta gak ada.”

Kemudian Ribi benar-benar terbangun. Naluriku langsung menuju pada suara yang berasal dari kamar mandi sebelah kamarnya. Pintu kamar mandi itu tidak terkunci. Kulihat Meta tengah basah kuyup, terduduk sambil menangis.

“Aku hina...”

 “Kenapa, Ta.”

“Aku... Aku... Aku terlalu hina, Za.”

“Tidak ada hamba yang hina di hadapanNya, Ta. Apalagi gadis soleha seperti kamu. Kamu terlalu baik untuk dinyatakan hina. Kamu tidak hina.”

“Kamu salah, Za. Aku tidak sebaik yang kamu sangka. Aku cuma manusia hina, nista.”

“Kenapa?”

“Aku... Aku hamil, Za.”

Deeehhgggg... Sepertinya saat itu langit terbelah. Meta, gadis soleha yang shalat Dhuhanya pun tak pernah tinggal, gadis soleha yang senantiasa membungkus tubuh dari ujung rambut hingga mata kaki dengan busana muslimahnya, melakukan kesalahan fatal yang tak pernah terbersit sedikitpun di benakku. Entahlah. Dadaku panas dan sesak. Ada amarah disana. Amarah karena ternyata aku telah terkelabui oleh wajah alimnya. Aku terkelabui oleh tingkah laku dan baju muslimah kendurnya yang ternyata hanya topeng. Sekuat tenaga aku berdiri dengan tangan menggenggam pinggiran pintu kamar mandi. Benar-benar tak kusangka Meta yang selama ini kukagumi karena kepatuhannya beribadah ternyata jauh lebih hina dari gadis-gadis yang dengan sengaja menunjukkan bentuk tubuhnya. Meta yang selalu berbicara seperlunya saja karena menghindari…

“Gimana ceritanya Ta?” aku tersadar mendengar suara Ribi yang ternyata sudah di belakangku.

Meta tak menjawab. Tangisnya semakin pilu. Dipeluknya kedua lututnya dan disandarkannya kepalanya ke lututnya seolah-oleh hanya lututnya lah satu-satunya tempat ia menyandarkan beban. Kutarik napas dalam. Betapapun aku tak suka mendengar pengakuannya barusan, tetap tak mungkin kami biarkan ia seperti ini. Maka kudekati ia dan kuusap-usap bahunya. Astaga, dingin sekali. Pasti Meta sudah beberapa lama disini sebelum kami terbangun.

“Udahlah Ta. Kamu ganti baju aja dulu. Tenangkan diri dulu.”

“Nggak bisa Za. Gimana aku bisa tenang dengan keadaan seperti ini?” di antara isaknya Meta menjawab.

“Tapi dengan kamu terus-terusan seperti ini juga nggak akan membuat keadaan semakin baik. Justru sebaliknya.”

“Za aku ini hina. Aku hamil… hamil Za!!” kembali tangis Meta pecah. Kembali kuusap-usap bahunya dan memeluknya. Dingin menjalar ke tubuhku.

“Hanya Tuhan yang berhak menentukan apakah hamba-Nya hina atau tidak Ta. Dan kalaupun kau hina, tetap kami tidak punya alasan untuk ngebiarin kamu seperti ini.” Aku tidak tahu kenapa kalimat bijak itu bisa keluar dari mulutku saat ini. Padahal, beberapa saat lalu hatiku marah karena merasa terkelabui oleh penampilan Meta.

Meta memelukku erat. Kian dingin saja kurasa tubuhku. Tapi entah kenapa hatiku malah hangat. Amarah yang tadi sempat muncul hilang seketika. Pelukkan Meta seperti membiusku, bukan menidurkan sarap-sarapku. Justru membangunkannya. Membangunkan sarap-sarapku untuk berpikir bahwa apapun bisa terjadi. Bahwa kehamilan Meta bukan berarti Meta mutlak hina. Pelukkan dingin itu menghangatkanku. Membuatku kembali yakin, ia masih Meta  yang kukagumi.

Kubimbing Meta keluar dari kamar mandi dan ganti baju. Ribi membuat teh hangat dari air dispenser yang tadi telah ia on kan tombol untuk memanaskan air. Sambil menunggu Meta ganti baju, aku dan Ribi saling berpandangan. Aku paham, pastilah dalam hati Ribi sedang bertanya-tanya perihal kehamilan Meta. Aku juga demikian. Namun dalam kondisi seperti ini rasanya kurang pas jika kami membicarakan hal itu. Apalagi menduga-duga penyebab kehamilannnya. Maka kami memilih diam. Menunggu Meta menceritakan sendiri kisahnya.



Bersambung...
DUA PULUH : KITA adalah karya kolaborasi antara Diah Siregar dan Rinda Dinamita
Share on Google Plus

About nebula

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar :

  1. Gambling.com Casino FAQ - Dr. MCD
    If you're 전라북도 출장안마 a gambling addict, here's 남양주 출장안마 what we 전라북도 출장샵 need 춘천 출장샵 to know 군포 출장안마 about gambling. A gambling addiction can't be cured by gambling.

    BalasHapus

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com