CERITA TIGA LEMBAR




CERITA TIGA LEMBAR - CERPEN
foto oleh : Diah Nebula

Cerita Tiga Lembar : Cerpen - Tinggal tiga lembar yang tersisah. Satu lembar dominan warna hijau. Satu lembar dominan merah dan satu lembar dominan coklat.

Winda menghela napas sedikit berat sambil memandangi lalu-lalang kendaraan. Semuanya terlihat kusam dan terkesan tua. Wajah-wajah lelah. Angkutan umum yang rata-rata catnya telah terkelupas dan hanya menampakkan besi karatan hingga tak enak dipandang. Jalanan macet. Asap kendaraan yang membuat kepala pusing. Semuanya seperti kompak menyatu dengan udara yang ia hirup. Menimbulkan efek berat pada tarikan napasnya.

Teettettt!!!

“Aksara… Aksara.. Serdang… Tembung!!”

Winda tersentak oleh klakson panjang dan teriakan supir yang menyebutkan rute angkutan yang ia kemudikan. Acuh Winda melihat ke belakang lalu menggelengkan kepala.

“Ayo dek, masih muat kok. Geser buk, bang tolong geser biar masuk adek ini!”

Beberapa penumpang sibuk menggeser duduknya. Tapi untuk kedua kalinya ia menggeleng sambil berucap

“Nggak pak.”

Si bapak berlalu dengan raut sedikit kecewa.

“Dek..dek, takut kali nggak dapat tempat duduk!”

Winda tersenyum mendengar gerutuan sang supir. Ia tak begitu ambil peduli. Dirinya tak naik ke angkutan tersebut bukan karena takut tak dapat tempat duduk atau karena rute angkutan sang bapak bukan tujuannya. Bukan, bukan karena itu. Ada alasan lain. Alasan yang ia tak ingin menyebutkan meski dalam hati dan hanya ia yang mendengarnya. Teramat menyakitkan rasanya untuk mengakui alasan itu.

Tettt!!

Untuk kedua kalinya ia mendengar suara klakson. Kali ini angkutan berwarna hijau buram.

“Mandala!”

Lagi-lagi Winda menggeleng dingin. Angkutan hijau buram berlalu. Gadis berkacamata itu kembali menarik napas berat. Dilambaikan tangannya untuk menyeberang jalan dan berjalan menyusuri jalanan Perintis Kemerdekaan.

Ini bukan pertama kalinya ia berjalan kaki menempuh jarak yang lumayan jauh demi mencapai kosnya. Ini juga bukan pertama kalinya ia berjalan kaki dengan pikiran berkecamuk. Namun kali ini rasanya berbeda. Lebih pedih dan menyesakkan dada. Segala nestapa seolah berlomba menyekap tawanya. Masih dengan masalah yang itu-itu saja : finansial. Dan justru karena masalahnya masih itu-itu saja, membuat ketegarannya kian mengeropos.

“Apakah aku dilahirkan hanya untuk memainkan peran ini saja? Ah, alangkah menyedihkannya,” sambil terus melangkah Winda berucap sendiri. Matanya panas. Ia teringat tiga lembar yang terselip di diari kecil di dalam tasnya. Seminggu yang lewat lembaran itu masih satu jumlahnya. Lalu berubah menjadi lima lembar. Lalu sembilan lembar. Enam lembar. Sekarang tiga lembar. Harusnya ia bahagia, lembarannya bertambah dari satu menjadi lima, sembilan, enam dan tiga. Tapi justru sebaliknya. Kian banyak jumlah lembarannya, kian sedikit nilainya. Ia kian was-was. Entah kenapa ia yang biasanya optimis kini seperti berubah jadi pecundang, takut menatap waktu yang ada di depan. Waktu yang telah terlewati membuatnya enggan berharap banyak pada masa depan. Sedari kecil hidup dan tumbuh dengan masalah klasik. Materi. Lahir dan tumbuh lalu mendapati kenyataan ibunya meninggal karena melahirkannya. Karena keluarganya tak mampu membawa ibunya ke rumah sakit karena ia membuat ulah di rahim ibunya. Ibunya meninggal karena tak mendapat penanganan yang tepat dari neneknya yang hanya punya pengalaman melahirkan tanpa keahlian menolong orang melahirkan. Jangankan membayar seorang bidan, seorang dukun beranak pun tak mampu bapaknya usahakan. Sungguh miris. Untuk kehidupannya ibunya harus rela menukar nyawanya karena keterbatasan materi. Yah, materi. Karena tak sanggup membayar bidan atau dukun beranak, ibunya membayar kelahirannya dengan nyawa.

Mata yang tadinya panas kini berair. Membentuk anak sungai di pipinya dan lautan pedih di hatinya.

“Hahaha.. ya! Aku memang terlahir hanya untuk memerankan peran menyedihkan ini. Buktinya sejak lahir saja aku sudah terlilit masalah ekonomi hahaha...”

Sambil terus melangkah Winda menceracau sendiri. Ia berucap sambil tertawa namun sungai di pipinya juga tak putus.

Hari merambat gelap. Selangkah demi selangkah Winda menapaki jalanan dengan pikiran yang masih serabutan meski sungai di pipinya telah mengering. Kali ini di jalan H.M Yamin. Lalu lintas kian padat. Angkutan umum, kendaraan pribadi, becak bermotor, sepeda motor, semuanya menyatu dan berpacu ingin menjadi yang paling cepat.

Gadis itu tak begitu peduli dengan lalu-lalang kendaraan. Ia masih saja sibuk berbincang dengan dirinya sendiri. Kepalanya dipenuhi tanda tanya. Kapan kehidupannya berubah? Ia sudah menjalankan semua ajaran yang diajarkan bapaknya. Sedari kecil bapaknya selalu mengajarkan agar ia menjadi pribadi yang sabar dan gigih. Tak boleh menyerah oleh keadaan dan harus terus berusaha. Ia sudah melakukan semuanya. Saat SD ia jarang bermain bersama teman sebayanya. Waktunya sepulang sekolah banyak ia habiskan untuk membantu bapaknya bekerja dan mengurus rumah. Mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke tetangga.

Saat SMP juga sama. Ketika SMA dan harus hijrah ke kota kabupaten, dirinya pun tak lantas berleha-leha sepulang sekolah. Ia mencari pekerjaan untuk membiayai sekolahnya karena bapaknya sudah kian susah. Warga desa sudah banyak yang tak lagi memasak dengan kayu bakar. Mereka beralih ke kompor minyak, bahkan sekarang kompor gas. Pencari kayu bakar sudah tak mereka butuhkan lagi. Maka dirinya pun harus berjuang sendiri untuk sekolahnya. Beruntung seorang penjual bakso mau mempekerjakannya dari ia pulang sekolah hingga jam sepuluh malam.

Untuk dapat kuliah, Winda terpaksa menunggu selama dua tahun untuk mengumpulkan uang. Ia bekerja siang dan malam demi cita-citanya : merubah hidup ia dan keluarganya. Ia tak ingin kejadian ibunya terulang : membayar sesuatu dengan nyawa karena tak memiliki uang.

Teett!

“Woi, kalau jalan jangan sambil ngelamun. Dimana mata kau?!!”

Sebuah teriakan menyadarkan Winda. Belum sempat ia menoleh untuk melihat si pemilik suara, ia merasakan pinggangnya tersentuh sesuatu hingga ia repleks menggerakkan tubuhnya ke samping kiri. Ia meringis menahan sikunya yang berbenturan dengan pembatas jembatan. Hampir saja tasnya jatuh ke sungai yang dikenal dengan nama Parit Busuk. Buru-buru diperiksanya isi tasnya. Samar-samar ia melihat suatu benda keluar dari tasnya dan jatuh ke sungai saat gerak repleksnya tadi. Matanya nanar memandang ke sungai yang gelap saat tak juga menemukan diarinya di tas. Sesak benar hatinya. Diari itu. Uang tiga lembar itu. Kini satu lembar pun tak tersisah.

***
Kamar ke-7, 03 Sept’11
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com