BALADA ROSNIAH




CERPEN BALADA ROSNIAH
Foto : Laki-laki Hujan
Perempuan dua puluh enam tahun itu menyusun botol-botol berisi perasan aneka tumbuhan ke bak kecil yang ia pasang di bagian belakang sepeda motornya. Bak itu ia buat sendiri dari papan-papan bekas yang ia rangkai menjadi bentuk bak segi empat yang bagian atasnya terbuka. Bak papan tersebut ia ikatkan di tempat duduk belakang sepeda motornya. Tiap hari ia berkeliling beberapa kampung untuk menjajakan jualannya. Jamu.

Rosniah nama perempuan itu. Ayahnya seorang Aceh tulen sedang ibunya Batak tulen. Namun orang-orang lebih sering mengaggapnya Jawa. Ini karena keahliannya membuat jamu dan profesinya sebagai pedagang jamu keliling. Juga karena sikapnya yang kalem dan lembut.

Rosniah diam memandangi sepeda motor dan botol-botol jamunya yang telah tersusun rapi. Jarum jam pun sudah menunjukkan waktu dimana ia biasa pergi berkeliling kampung. Namun hari ini Rosniah masih diam membisu di ambang pintu dengan tatapan tak lepas dari sepeda motornya yang bututnya yang ia beli dengan tabungannya jualan jamu. Sebelumnya ia menjual jamu dengan berjalan kaki. Pikiran Rosniah melayang. Jauh ke masa lampau yang coba ia lupakan.

Setelah kedua orang tuanya menikah, mereka merantau ke Asahan. Tinggal di desa pedalaman dan bertani. Dirinya lahir sebagai anak satu-satunya. Seharusnya ini menyenangkan. Nyatanya tidak bagi Rosniah. Ayahnya, yang walaupun bukan orang batak, sangat menginginkan anak laki-laki. Awalnya, meski kecewa ayah Rosniah mencoba untuk menerima kehadian Rosniah. Ia berharap mendapatkan anak laki-laki di kehamilan istrinya selanjutnya. Tapi takdir berkata lain. Ibunya divonis tidak dapat hamil lagi karena kanker rahim. Sejak itu ayahnya jadi uring-uringan dan mudah marah. Meski saat itu Rosniah masih kecil, namun ia kerap menjadi sasaran kemarahan ayahnya. Sedang ibunya tak dapat berbuat banyak. Ia hanya pasrah karena merasa gagal menjadi istri yang mampu membahagiakan suami dengan memberinya anak laki-laki.

Rosniah tumbuh dan kehilangan identitas etnis. Ayahnya tak pernah mengajarinya tentang adat istiadat Aceh. Pun ibunya. Ibu terlalu sibuk menyesali diri dan penyakitnya. Ia hanya mengatakan kalau ayahnya seorang Aceh dan ibunya Batak. Hanya itu. Selebihnya Rosniah hanya melihat aceh dari peta saat sekolah dulu. Ia mengetahui tentang kebudayaan Batak dan Aceh hanya dari Koran-koran dan televisi. Tapi itu tak pernah cukup buat Rosniah. Koran di kampung pedalaman ini hanya ia dapati sebagai pembungkus ikan rebus saat ia belanja di warung. Sedang televisi menjadi barang mewah dan sangat mahal bagi keluarganya. Rosniah kecil hanya sesekali menonton tv di rumah tetangga. Itu pun sangat jarang memuat tentang Aceh maupun Batak. Hidup Rosniah benar-benar sepi dan kosong. Ayahnya tak pernah memperhatikannya. Ia selalu pura-pura sibuk di ladang, sedang ibu selalu setia menemaninya di ladang meski penyakitnya kian parah. Ia melewatkan masa kecil bersama nenek Iyem tetangganya. Dari nenek Iyem lah ia belajar membuat jamu. Kunyit, sirih, madu, Temulawak dan bahan pembuat jamu lainnya sudah tak asing baginya. Dari nenek Iyem yang hidup seorang diri pulalah ia meniru sifat lembutnya.

Sayangnya, nek Iyem harus pergi saat Rosniah menginjak remaja. Nenek penjual jamu tersebut meninggal dengan mewariskan rumah, keahlian membuat jamu dan sifat lembutnya. Ia kembali melewati harinya dengan sepi. Ayah dan ibunya seperti menganggapnya tak pernah ada. Ah, sepedih inikah terlahir sebagai perempuan di keluarga yang menginginkan anak laki-laki? Rosniah tak habis pikir kenapa hingga ia besar ayahnya masih belum bisa menerimanya.

Umur 18 tahun Rosniah disunting Jono, pria Jawa. Tak ada pesta atau sekedar syukuran kecil-kecilan. Ayahnya tak sudi memestakannya. Rosniah menerima saja sikap ayahnya. Biarlah, ia tak ingin menyulut perdebatan apalagi pertengkaran. Rosniah dah suaminya menempati rumah peninggalan nek Iyem. Rumah tangga mereka bahagia dengan hadirnya Fauziah, buah hati mereka. Namun lagi-lagi takdir seperti sengaja menjadikan hari-hari Rosniah sepi. Suaminya meninggal terkena DBD saat fauziah baru berumur setahun. Kembali Rosniah berteman sepi. Berteman luka. Beruntung ada Fauziah yang selalu membangkitkan semangatnya untuk terus menjalani hidupnya yang sepi.

“Kau itu memang pembawa sial Niah. Lihat saja ibumu, nek Iyem, Jono, mereka semua terkena sialmu. Jangan kau kembali tinggal di rumah ini. Aku tak mau ketiban sial karena serumah denganmu. Cukup ibumu saja yang ketularan sial, mengidap penyakit kanker rahim karena telah melahirkanmu. Anak pembawa sial,” sungguh pedih hati Rosniah mendengar ucapan ayahnya. Dirinya hanya ingin menjenguk ibunya yang sakit namun ayahnya justru mencacinya sebagai pembawa sial.

Rosniah pulang dengan hati meradang. Fauziah yang kala itu masih berumur dua tahun hanya memandanginya dengan tatapan sendu, seolah tahu kepedihan ibunya. Buru-buru Rosniah tersenyum, ia tak ingin mewariskan kepedihan pada buah hatinya.

Dua tahun waktu berjalan dengan cepat. Rosniah memutuskan menerima pinangan Rizal, lajang dari kampung tetangga. Sebenarnya ia tak ingin menikah lagi. Jono masih mengisi ruang hatinya. Namun bagaimanapun, Fauziah membutuhkan figur seorang ayah. Apalagi Rizal juga ia kenal baik selama ini. Tak dinyana, penilaiannya meleset. Rizal ternyata pria yang ringan tangan. Tubuhnya kerap mendapat pukulan kala apa yang ia lakukan tak sesuai keingin Rizal. Padahal telah ada Rabiah, buah cinta mereka.

Tiga tahun hidup bersama, Rosniah gerah. Ia meminta cerai sebagai gertakan. Bukannya sadar, Rizal justru kembali memukul dan mengusirnya. Rosniah tak gentar. Ia telah memutuskan, lebih baik sendiri daripada hidup bersama kekerasan.

Ayahnya mentertawakannya saat Rosniah kembali pulang ke rumah peninggalan nek Iyem.

“Niah.. Niah. Kau memang manusia gagal. Pembawa sial. Jangankan membahagiakan orang tua, membahagiakan suami pun kau tak bisa,” untuk kesekian kali ayahnya melontarkan kalimat menyakitkan. Rosniah ingin menyela, tapi hatinya menahan. Cukuplah ia terima semua dengan ikhlas. Ia ikhlas dilahirkan sebagai perempuan meski tak diinginkan. Ia ikhlas dengan takdirnya. Namun ia tak ingin hanya pasrah seperti ibunya. Ia ingin menunjukkan, ia wanita lembut namun juga kuat dan tegar.

“Mak belum berangkat? Kalau emak lelah, biar Ziah saja yang jualan,” ucapan Fauziah menyadarkannya dari masa lalu.

“Tidak Ziah, emak tak apa-apa. Kamu di rumah saja, jaga adikmu.”

Rosniah bergegas menuju sepeda motornya. Menjual jamu keliling untuk menghidupi ia dan kedua anaknya. Harapannya tak muluk-muluk, ia ingin suatu saat dapat mengajak anaknya ke tanah Aceh, Batak, juga Jawa. Mengenalkan pada asal mereka dan ibunya. Meski gagal mempertahankan rumah tangga, ia tak ingin gagal menjadi ibu. Ia ingin anaknya hidup layak dan tak menyesal terlahir sebagai perempuan. Sebab menurutnya, perempuan adalah mahkota dunia. Lembut namun tak berarti lemah, apalagi menyerah pada takdir.

***
Medan, 08 Mar’12
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar :

  1. lembut tak berati lemah, dan sebagai wanita tidak boleh pasrah dengan keadaan. kaya sarat moral. keren kak...

    BalasHapus

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com