CERITA GELAP


CERPEN CERITA GELAP DNEBULA
Foto : Diah Nebula
Cerita Gelap - Cerpen : “Dasar listrik sialan. Aku bahkan belum selesai makan malam, seenak udelnya memadamkan listrik.”

“Ya ampun, gimana nih? Sebentar lagi Hendra datang menjemput, pake acara mati lampu lagi. Huh..! gimana bisa aku merias dalam gelap.”

“Asikk listrik padam, jadi besok ada alasan kalau ditanya pak guru kenapa PR nya belum selesai.”

Bintang-bintang tersenyum. Ini saatnya menunjukkan pada mereka betapa indahnya aku, mungkin begitu pikiran para bintang. Gemintang memang selalu lebih indah dinikmati dalam gelap.

“Heh Lita, ngapain kau duduk sendirian gelap-gelap gini?” seseorang mengganggu ritualku, menikmati gemintang dari kegelapan.

“Melihat bintang.” singkat, padat dan jelas jawabanku. Namun hampir selalu mendapat respon negatif tiap kulontarkan kalimat itu.

“Halaah… kurang kerjaan kau!” ia berlalu. Aku pun menganggapnya angin lalu.

Seseorang yang lain melintas. Seorang pria tampan.

“Ta, kau lagi sibuk?”

Aku menggeleng.

“Aku mau curhat nih”

Aku diam saja. Sejak kapan aku jadi tempat curhat. Belum sempat aku mengangguk atau menggeleng, ia sudah nyerocos ba bi bu.

“Sebenarnya aku tak tega melakukan ini, tapi mau tak mau aku harus melakukannya. Ini demi kebaikan bersama.”

Aku masih diam saja. Memandang wajahnya yang memang tampan. Matanya, oh matanya begitu menggoda tiap wanita yang memandang untuk menyediakan ruang khusus di hati mereka.

“Aku membunuh kekasih gelapku. Mayatnya kukubur di belakang rumah kontrakannya. Sebelum membunuhnya, terlebih dahulu kami berkencan semalam suntuk. Lalu paginya, aku membuatkan secangkir susu untuknya. Ia sangat bahagia karena menganggap aku sangat perhatian. Di susu itulah kutaruh obat tidur melebihi dosis yang dianjurkan.” Aku tersentak. Tanpa kuminta ia menceritakan semuanya.

“Sebenarnya aku tak tega. Aku mencintainya Ta. Tapi, ini demi kebaikan bersama. Istriku mulai mencium perselingkuhanku. Kalau sampai terkuak, aku bisa jatuh miskin karena diceraikannya. Aku menikahinya kan agar tak perlu menggelapkan uang Negara lagi. Istriku saja sudah kaya delapan turunan, aku tinggal menikmatinya saja sambil terus menggelapkan cinta. Itu lebih aman daripada menggelapkan uang rakyat. Lagipula, istriku orang yang nekat. Ia pernah bilang akan membunuhku dan pacar gelapku jika sampai ketauan selingkuh. Daripada kekasih gelapku mati dibunuh dengan sadis oleh istriku, lebih baik aku yang membunuhnya. Aku sempat mencium bibirnya sebelum ia menenggak habis segelas susu yang kubuatkan. Ah, bagaimanapun ini sangat berat buatku. Tapi, ini demi kebaikan bersama.”

Demi kebaikan bersama? Cinta? Taik kucing dengan semua ucapannya. Cinta yang bagaimana yang membuat seseorang jadi pembunuh orang yang dicintainya? Apa baiknya bagi wanita itu jika akhirnya mati dibunuh pacar sendiri? Ini demi kebaikan sepihak namanya.

“Ta, Lita!”

Pria itu berlalu setelah aku tak menggubrisnya. Ada beberapa alasan kenapa aku mengabaikannya. Pertama, aku benci dengan orang yang mengaku mencinta namun  juga tega menorehkan luka. Kedua, aku takut menatap wajahnya lebih lama. Apalagi matanya. Aku tak yakin tak jatuh hati jika sering-sering memandangnya. Dan aku tak ingin bernasib sama dengan kekasih gelapnya, dibunuh orang yang dicintai dengan alasan kebaikan bersama.

Handphone-ku berdering. Dari Era, teman kuliahku.

“Halo!”

“Halo Ta, kau dimana?”

“Di rumah.”

“Ke rumahku dong. Aku takut nih tidur sendirian. Listrik padam, gelap.”

Era tinggal sendiri di rumahnya yang besar dan mewah. Hanya ditemani seorang pembantu setengah baya. Kedua orangtuanya tinggal di Pekan Baru.

“Eh tau nggak sih Ta.  Aldo baru aja pulang dari rumahku. Gila, tadi dia mencium bibirku. Sampai panas dingin aku dibuatnya.”

“Hah!!?”

“Iya Ta. Awalnya Aldo pamit pulang karena udah jam sepuluh. Seperti biasa sebelum pulang dia kecup kening aku. Nggak tau kenapa tadi tuh rasanya beda gitu. Feel-nya dapet banget. Gelap dan banyak bintang. How romantic dear. Usai mengecup keningku kami saling berpandangan lama. Entah siapa yang memulai, tau-tau bibir kami saling berpagutan.”

“Astaga!!”

“Ah, Ta, kamu nggak tau gimana rasanya. Sampai panas dingin aku. Kupikir, ini pengalaman baru yang menakjubkan. Kau harus mencobanya.”

“Kau tak menolak? Bukankah orangtua selalu mewanti-wanti agar kita langsung menolak saat seseorang mulai mengarah ke hal-hal demikian.”

 “Awalnya aku ingin menolak. Tapi ada dorongan lain yang memaksaku untuk membiarkan Aldo melakukan itu. Lagi pula tak ada yang melihat, kan gelap.”

“Kenapa bisa sampai demikian?”

“Entahlah, mungkin pengaruh gelap.”

Ada bara api yang meletik ke hatiku. Membuat ubun-ubunku panas. Kenapa harus gelap yang dijadikan kambing hitam? Bukankah semua itu berawal dari diri sendiri. Ketika diri mengatakan tidak maka tidak. Bukankah kita yang memutuskan akan melakukan sesuatu atau tidak.

“Ta, jadi ke rumahku kan?”
“Nggak.”

“Yah… Lita nggak asik.”

Klik! Telfon terputus. Aku masih tak percaya dengan kalimat-kalimat Era barusan.

Dua orang gadis melintas. Aku tak sengaja mendengar semua percakapan mereka :

“Bapaknya kan dipenjara. Katanya sih ketauan menggelapkan uang perusahaan. Aku bener-bener nggak nyangka.”

“Iya, pantesan waktu kita ke rumahnya mewah banget.”

Kembali sepi. Kembali menikmati gelap. Begitulah, aku tak habis pikir kenapa gelap selalu berkonotasi negatif. Atau kenapa orang menggunakan kata ‘gelap’ untuk hal-hal yang dirasa kurang baik. Kekasih gelap, istri gelap, pasar gelap, cinta gelap. Atau kenapa banyak orang menjadikan gelap sebagai alasan untuk melakukan pembenaran atas apa yang ia lakukan.

“Hei kenapa melamun di gelap-gelapan begini?”

Entah darimana datangnya. Seorang pria tahu-tahu sudah berdiri di sampingku. Di tangannya menyala sebatang lilin putih. Meski hanya cahaya lilin, aku dapat melihat betapa tampan wajahnya. Tatapannya hangat.

“Sedang apa kau di tempat gelap seperti ini?”

“Menikmati gelap.”

Tak seperti yang sudah-sudah. Ia tetap berdiri di sampingku. Bahkan mendongakkan kepala ke arah gemintang, sama seperti yang kulakukan.

“Siapa namamu?”

“Pelita Darka, kau?”

“Pria Lilin.”

“Kenapa kau ada disini?”

“Karena aku suka gelap.”

Aku mengerutkan kening, bingung tapi juga senang. Selain aku, baru kali ini ada seseorang yang mengakui menyukai gelap.

“Alasan lain?”

“Karena kau suka gelap dan karena aku hanya memiliki sebatang lilin. Bukankah cahaya akan kehilangan makna jika tak ada kegelapan?”

Kali ini sepi terasa hangat. Gemintang seakan pindah ke hatiku. Tak ingin lagi kubertanya kenapa gelap dijadikan kambing hitam atas segala khilap. Bagaimanapun, bagiku gelap itu nikmat.

“Pergilah, lanjutkan perjalananmu. Aku takut lilinmu habis jika berlama-lama disini. Matahari entah kapan muncul.”

“Kau lihat, semakin lama ia menyala, semakin ia memanjang dan bersinar cerah.”

Aku mengangguk takjub dalam hati.

Entah sampai kapan listrik akan menyala. Pria Lilin masih setia berdiri di sampingku. Kami menikmati gemintang. Menikmati gelap. Tangan kanannya menggenggam tanganku. Sementara lilin di tangannya yang lain semakin panjang.

***
Kos ke-7, 18 Sept’11
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com