Tamu adalah raja. Siapa
yang tak kenal peribahasa itu. Meski terdengar klise dan terlalu biasa,
nyatanya banyak dari kita yang mengabaikan bahkan melupakan hal tersebut. Salah
satunya seperti pengalaman kami di Surabaya.
Seperti yang sudah
kuceritakan sebelumnya kalau kami berempat tergabung dalam satu organisasi di
kampus kami. Sudah menjadi hal biasa buat kami menerima tamu dari organisasi
serupa dari kampus lain, baik dari kota Medan maupun dari luar Medan. Walaupun
orang Medan terkenal ceplas-ceplos namun kami selalu saling mengingatkan sesama
anggota untuk selalu memperlakukan tamu dengan baik (Nggak percaya? tanya aja
sama kawan-kawan yang pernah bertamu ke Kreatif). Selain alasan menjaga nama
baik kampus dan organisasi, alasan lain adalah karena hampir semua anak Kreatif
hobby ngetrip. Dan rata-rata ngetripnya ala backpacker alias nebeng.com alias
sehemat mungkin hehhee.. So, salah satu cara berhemat saat ngetrip adalah
dengan memperbanyak relasi di kota tujuan. Jadi, saat kawan-kawan dari kota
lain datang bertamu, saat itulah kami menyebarkan jaring-jaring relasi agar
saat berkunjung ke kota mereka, nasib kami tak terancam (lebay euy..). Alasan
lain adalah bahwa kami semua menyadari dan memahami betul kalimat : siapa
menabur benih dia yang memanen. Bahwa suatu saat pasti akan mengalami menjadi
tamu. Bahwa untuk menjadi tamu yang diperlakukan dengan baik kami juga harus
memperlakukan tamu dengan baik pula.
Membawa embel-embel
organisasi, kami berniat nyamperin
organisasi serupa di salah satu universitas di kota Surabaya. Selain hendak
berkunjung, Lina dan Nova juga hendak mendaftar untuk mengikuti pelatihan yang
mereka adakan. Karena tamu bulananku lagi datang, aku tak ikut berkunjung kala
itu. Namun dari cerita kawan-kawan yang berkunjung, aku menarik kesimpulan
kalau kawan-kawan disini anaknya asik-asik. Jadilah si Nova dan Lina mendaftar.
Aku dan Ulan sengaja tak mendaftar, selain karena sudah pernah mengikuti
pelatihan serupa, juga karena mengirit biaya hehhee…
Sebenarnya rencana awal
perjalanan kami adalah Jawa-Bali-Lombok. Namun karena sudah terlanjur mendaftar
pelatihan dan teman yang di Lombok rada-rada nggak jelas. Kami berlima
memutuskan kembali ke Surabaya.
Senin, 18 Juli 2011,
dengan semangat kami berangkat naik taksi ke kampus tempat diadakan pelatihan.
Agenda pelatihan hari ini adalah liputan di tempat prostitusi terbesar di
Indonesia, gang Doli. Yuhuuu… walaupun bukan peserta pelatihan, aku, Ulan, mbak
Yuni semangat ikut. Secara kami adalah manusia-manusia dengan kadar penasaran
tinggi. Dari awal tiba di Surabaya kami sudah dengan sengaja membuka obrolan
mengenai gang tersebut bersama kak Rita dan mas Purbo.
“Gang Doli itu seperti
apa sih? Penasaran pengen tau. Kalau pakai jilbab kesana boleh nggak ya??”
“Iya, katanya disana
cewek-ceweknya dijejerin di depan gitu ya, pelanggan tinggal pilih saja mana
yang suka”
“Katanya lagi kayak
manekin-manekin di toko-toko baju gitu ya. Cuma bedanya ini beneran orang.
Pakaiannya seksi-seksi. Bener nggak sih??”
Mas Purbo cuma mesam-mesem
mendengar obrolan-obrolan kami.
“Kalau dari sini ke
gang Doli jauh ya mas?”
Kembali si mas
mesam-mesem sambil tetep konsen nyetir.
“Ya.. jauh. Tapi nggak
jauh-jauh banget sih. Ngapain kesana. Nggak bagus disana. Jangan ditiru yang
begituan” si mas menasehati.
Aku tertawa dalam hati.
Ealaah mas.. mas, nasehatinnya seolah kami gadis-gadis dari desa yang baru
pertama kali ke kota dan masih lugu ‘n rentan terjerumus. Santai aja mas, kami
pengen kesana bukan buat meniru dan membuka tempat begituan di Medan kok. Cuma
pengen memenuhi hasrat penasaran kami saja. Lagipula, mengetahui sesuatu yang
dianggap tabu itu perlu. Bukan untuk menjadi seperti hal tersebut, tapi untuk
menghindarkan diri agar terhindar dari hal tersebut. Sama kayak narkoba.
Orang-orang berisik bilang jangan pakai narkoba. Narkoba adalah barang haram
dan harus dihindari. Nah, kalau kita nggak tau gimana narkoba itu, gimana mau
menghindarinya, tau aja nggak. Sama juga kayak pendidikan seks. Selalu
digaungkan agar generasi muda menghindari seks pra nikah. Tapi para orang tua
enggan membicarakan seks pada anak-anaknya. Lha gimana si anak bakal tau kalau
pada batas-batas tertentu seks itu dilarang sebelum menikah? Wong
membicarakannya saja tak pernah. Sementara di luar vcd-vcd blue film beredar dengan
bebas. Situs-situs porno mudah di akses dimana saja. Si anak yang nggak
dibekali pengetahuan sebelumnya tau-tau udah berduaan dengan pacarnya. Si cowok
yang juga nggak tahu asik aja mempraktekkan yang ‘enak-enak’ yang dilihatnya
dari handphone, vcd, majalah dan lainnya. Si cewek yang juga nggak tau nurut
aja mo diapain sama sang pacar. Lengkaplah sudah, ketaktahuan ditambah hasrat
darah muda. Giliran si anak hamil di luar nikah si ortu mencak-mencak. Para
tetangga mencibir padahal mereka juga punya anak perempuan.
Wew… jadi melebar
ceritanya. Balik lagi ke masalah pelatihan tadi. Sebelumnya Lina dan Nova sudah
menginformasikan ke panitia kalau kami akan numpang ikut ke Doli. Panitia
bilang “ok”. Weikzz, hari ini pasti seru! Dengan yakin aku berucap dalam hati.
Sampai di kampus kami
langsung menuju tempat pelatihan di lantai tiga pada salah satu fakultas di
kampus tersebut. Lokasinya di sudut kiri bangunan. Sambil menunggu mereka
berangkat, kami duduk di bangku yang ada di dekat pintu ruangan. Ada satu bangku
dan meja disana. Sepertinya meja panitia. Kulongok ke dalam. Tampak panitia
sedang membagi peserta dalam beberapa kelompok. Beberapa panitia melihat ke
arahku namun tak beranjak dari ruangan. Satu dua orang berseliweran
keluar-masuk ruangan. Beberapa di antaranya adalah panitia yang menerima Ulan
dkk saat kunjungan ke kampus ini. Tapi anehnya mereka juga tak mempedulikan
kami. Tak mungkin mereka tak ingat wajah Ulan dan mbak Yuni. Seandainya pun tak
ingat, masak sih mereka tak terusik oleh kami yang berdiri nggak jelas di dekat
pintu tempat mereka buat acara. Sekedar untuk bersay hello atau menanyakan
kenapa kami sedari tadi di tempat itu. Tapi lebih lima belas menit kami di
depan ruangan itu tak satu pun yang peduli. Huaaa… hiks.. sedih nian. Mana di
depan ruangan itu toilet lagi. Kesannya kami kayak penjaga toilet gitu.
Seribu..seribu hehehe.. untung toiletnya lumayan bersih (soalnya kami nggak
nyium bau-bau aneh sewaktu disitu).
Sedari tadi nggak
dipeduliin, akhirnya kami nekat masuk ruangan. Ulan berinisiatif menyapa
panitia yang ia kenal. Si panitia cuma balas basa-basi Ulan sekedarnya saja.
Ulan menyampaikan kalau kami ingin numpang rombongan panitia ke Doli karena tak
tau kendaraan menuju kesana (kombinasi males naik angkutan karena keseringan jalan-jalan
sama kak Rita dan mas Purbo naik mobil mewahnya+ngirit ongkos). Si panitia pun
mengangguk-angguk tanda kami bisa ikut. Yes! Doli, we are coming!!
Si mbak panitia kembali
sok sibuk mondar-mandir kesana kemari dan tak menghiraukan kami atau sekedar
mengintruksikan anggotanya untuk beramah-tamah pada kami. Secara kami tamu
hehehe… dari sini udah mulai terasa sih hawa-hawa kecewanya. Tapi cuek ajalah,
yang penting kami diperbolehkan ikut ke Doli. Itu saja sudah cukup.
Para peserta yang
tadinya duduk di lantai dan membentuk lingkaran-lingkaran bersama kelompoknya
kini bangkit dan bersiap-siap hendak meninggalkan ruangan. Buru-buru kami
keluar ruangan dan menunggu di lantai bawah.
Panitia lewat, yes!!
Kami pura-pura ngobrol seolah-olah tak tau kalau panitia melintas. Harapannya
sih mendengar kalimat : “Hei mbak, ini yang dari Medan ya, yang mau ikut ke
Doli? Ayo mbak, busnya udah nunggu. Kita berangkat sama-sama” atau kalimat
sejenisnya. Nyatanya si panitia melenggang saja melewati kami. Nah lo!
Maka ketika mbak-mbak
panitia yang dikenal Ulan melintas, lagi-lagi kami berbesar hati untuk menegur
duluan. Si mbak terlihat sedikit bingung. Ia pun memanggil beberapa panitia
lain dan menceritakan perihal kami. Mereka agak memisahkan diri dari kami.
Meski tak begitu mendengarkan pembicaraan mereka (karena saya memang tak
terbiasa menguping pembicaraan orang) namun dari raut wajah mereka tampak
sekali tegang dan serius.
“Ya bukan gitu,
masalahnya ini kita aja nggak tau lo cukup apa nggak”
Oh MG!! kenapa kalimat
itu yang harus terdengar jelas di telingaku (dan aku yakin juga di telinga
kedua temanku). Sumpe deh, nggak enak bener dengernya. Secara ntu kalimat pasti
keluar ada hubungannya dengan kami. Sakitnya lagi, si Ulan bilang, ntu cewek
nyang ngucapin kalimat itu tak lain dan tak bukan adalah ketua umum organisasi si
pembuat acara. Hohoho… kami bertiga cuek n pura-pura tak mendengar kalimat
barusan.
“Ya udah, berapa orang
yang mau ikut mbak? Biar didata dan diatur panitia” akhirnya seorang cowok di
antara mereka berucap kepada kami. Semanis mungkin kami tersenyum menanggapi
ucapannya sambil mengacungkan jari manis, jari tengah dan telunjuk.
Bersama kami berjalan
menuju parkiran. Aku masih saja senyum-senyum meski tak tau senyum sama siapa.
Kok nggak ada yang ngajak kami ngobrol ya? Hmm…
Di parkiran kami
seperti bukan siapa-siapa (walaupun memang bukan siapa-siapa). Hoaahh… panas,
gerah, suasananya garing lagi. Lengkap dah. Pengen teriak aja rasanya : kok
jadi gini!!? Padahal sebelum-sebelumnya aku membayangkan pertemuan yang hangat
khas mahasiswa yang terbiasa berorganisasi (yang otomatis terbiasa
bersosialisasi). Apalagi di daerah Jawa yang dalam pikiranku orang-orangnya
ramah dan lemah lembut seperti pencitraan suku Jawa yang kutau selama ini (beda
sama Medan yang pencitraannya sebagai suku Batak dan terkenal kasar logat
bicaranya)
Serombongan orang
melintas. Peserta pelatihan. Mereka dikumpulkan tak jauh dari parkiran tempat
kami dianggurin (hiks..). Panitia terkesan lamban dan sibuk sendiri. Lina dan
Nova menghampiri kami. Suasana jadi lumayan hidup. Kami ngobrol di parkiran
bersama beberapa peserta pelatihan asal Jember dan Kudus.
Sekitar setengah jam
dalam ketakjelasan, panitia menginstruksikan peserta untuk berjalan ke depan
fakultas. Waktunya berangkat hehhe.. tapi kok nggak ada yang menghampiri kami
untuk sama-sama ke depan fakultas ya? Padahal panitia juga ikut berjalan
bersama peserta. Huaa… kami ditinggal nih maksudnya? Hiks.. tega!! Lagi dan
lagi kami mencoba berdamai dengan hati yang mulai memanas. Mencoba berpikiran
positif kalau-kalau mereka lupa saking gugupnya ngurus peserta. Dan demi
mengobati rasa penasaran kami akan sebuah tempat bernama “Doli”, untuk ke
sekian kalinya kami berbesar hati dengan muka tembok mengikuti rombongan. Di
depan kami si mbak panitia yang dikenal Ulan yang ternyata adalah sekretaris
acara berjalan sambil ngobrol dengan temannya. Ia melihat ke arah kami, lagi
dan lagi ada kecewa yang mau tak mau hadir ; si mbak cuek bebek kayak nggak
kenal padahal kita udah pasang senyum iklan pasta gigi.
Sebuah angkutan mini
mangkal di depan fakultas. Rombongan berkumpul di dekat angkutan. Lagi-lagi
panitia terkesan lambat dan sibuk sendiri. Peserta kembali harus menunggu
sementara panitia mondar-mandir tak jelas. Seorang cowok berperawakan tinggi
mengenakan almamater sama yang kuyakini adalah panitia kuhampiri.
“Mas, udah mau
berangkat?”
“Iya mbak, ini nunggu
angkutan satu lagi”
“Oo.. gimana nih, kami
bisa numpang kan ke Doli? Soalnya kami nggak tau menuju ke sana”
“Wah kalau itu nggak
tau mbak. Tanya ama yang laen aja. Atau itu tuh, Tanya mbak 3@$! Aja. Mbak itu
ketua umumnya” ucapnya menunjuk cewek berwajah pukul 24:00 yang mengucapkan
kalimat nggak asik di telinga tadi.
“Ok mas, makasih”
Si cowok berlalu. Aku
menelan kecewa. Si cewek sekretaris acara, si ketua umum, si cowok yang tadi
nanya siapa aja yang numpang, semuanya cuek seolah-olah tak melihat kami.
Seolah-olah kami tak pernah mengucapkan apa-apa. Beugh… terlalu!! Ulan yang
sedari tadi menggerutu kian parah gerutuannya. Mbak Yuni juga (aku juga
tentunya).
Sebenarnya mbak Yuni
udah dari tadi ngajak kami buat segera angkat kaki dari tempat itu. Tapi aku
meminta untuk tetap bertahan. Jujur, aku penasaran apakah mereka akan
memperjuangkan nasib kami (lebay mode on) atau meninggalkan kami. Ternyata yang
kedua yang terjadi. Dua bus kecil full muatan berangkat diiringi beberapa
panitia mengendarai sepeda motor. Aku menatap kepergian mereka dengan diliputi
ribuan takjub. Suer!! Takjub bener aku liat kawan-kawan panitia. Sedikitpun tak
ada yang mempedulikan kami. Sekedar minta maaf karena tak bisa memberi
tumpangan. Atau sekedar melambaikan tangan n bilang “bye, kami berangkat duluan
ya. Kalau mau ikut naik angkot atau taksi sono, jangan gratisan aja”, atau
kalimat apalah sebagai bukti mereka masih menganggap kami ada. Ckckck… salut
dah! Jangankan menyapa, memandangpun tidak. Luar biasa.
Sepeninggal mereka kami
terkena virus bengong. Sedikit tak percaya dengan apa yang kami alami. Dari
awal datang ampe sekarang seolah tak dianggap, ditinggal gitu aja lagi tanpa
ba-bi-bu. Seperti seorang cewek ditinggal tanpa alasan oleh cowoknya. Nyesak
banget di dada. Aku jadi memutar-mutar memori otakku. Mengingat-ingat apa saja
perlakuan kami pada tamu-tamu yang berkunjung ke tempat kami. Memastikan tak
ada satupun yang kami perlakukan kurang baik (menurut kami). Kawan-kawan dari Padang
datang ke Medan kami temanin muter-muter Medan, belanja bika ambon ‘n makan
siang di sekret Kreatif. Peserta pelatihan di UMSU kami jamu dengan berbagai
jajanan. Kawan-kawan dari Aceh malah kami ajak nginap di sekret. Diluar dari
service itu, suasana terjalin dengan akrab walaupun baru kenal. Lha ini!??
Udara panas kota
Surabaya membuat suasana hati makin panas. Kami berjalan ke luar kampus masih
dengan rasa yang aneh. Tak menyangka mendapatkan jamuan tak ramah di tanah yang
masyarakatnya dikenal ramah itu.
Kubuka handphone hendak
update status. Salah satu status di home membuatku tersenyum. Kurang lebih
begini bunyinya : Separdabanya orang Medan, nggak pernah kami memperlakukan
tamu kayak gini.
Hahaha… si Ulan udah
terlebih dahulu updates status rupanya. Oya, pardaba itu bermakna ‘payah, nggak asik, susah diatur dll’
biasa digunakan untuk mnyebutkan orang yang susah diatur dan ngeselin. Pokoknya
nggak asik dah. Ku like-kan status Ulan sambil masih tertawa. Satu pengalaman
tak mengenakkan oleh sekelompok orang memang tak bisa menjadi acuan untuk
men-judge seluruh orang. Bukan tidak mungkin orang lain juga pernah mengalami
hal tak mengenakkan saat berkunjung ke Medan. Mungkin Tuhan ingin kami belajar,
seberapa mampu kami untuk tetap melakukan apa yang kami yakini baik meski
balasannya belum tentu baik. Well, pengalaman hari ini memang sungguh tak
mengasikkan, namun aku nggak kapok
berkunjung ke Surabaya, ke kampus ini. Bahkan jika orang-orang yang
menjadi tuan rumah tetap orang-orang yang sama. Tak ada alasan untuk mendendam.
Pun tak ada alasan untuk tak mengundang kawan-kawan organisasi serupa untuk
berkunjung ke Medan. Tenang saja, akan kami jamu kalian sebaik yang kami bisa.
Sebab tamu adalah raja.
NB
: Tulisan ini hanya catatan perjalananku tanpa bermaksud menjelekkan pihak
manapun. Nama universitas, organisasi dan orang yang bersangkutan sengaja tak
disebutkan karena sekali lagi, aku hanya ingin berbagi cerita tanpa bermaksud
menjelekkan.
iyaa insya Allah.. Tamu adalah Raja, Barangsiapa yg beriman kepada Allah & Hari Akhir Hendaklah ia memuliakan tamunya, (HR...... maaf saya lupa) untuk informasi aneka tenda bisa klik di: Tenda Stand Murah
BalasHapus