DUA PULUH : KITA #3

Tak ada lagi waktu berpikir. Segera kubalas SMS Ribi.

Ok. Gerak skarang qt?
Yups… aq lg jln k kos mu. 10 mnit lg nyampe

Tak kupedulikan lagi buku tulis besar berisi neraca keuangan yang baru selesai kubuat garis-garisnya. Kusambar handuk dan masuk ke kamar mandi yang juga sempit dan pengap. Semenit kemudian aku keluar dengan tangan sibuk mengusap-usap wajahku dengan handuk tadi.

“Kebiasaanmu kambuh lagi ya?” ditengah ketergesaanku ganti baju aku cuma bisa  menggeleng menanggapi ucapan Rana, teman sekamarku.

“Perasaan air lancar lah Za. Gak bakalan abis kalo cuma buat mandi kau”
Aku tak menyahut. Meraih sisir dan menyisir rambutku sekenanya.

“Buru-buru amat?”

“Kau  bisa gantiin aku jaga malam ini?”

Rana menghentikan kerjaannya membaca buku animasi potoshop yang dua hari kemarin ia beli diskon lima puluh persen.

“Mau kemana sih Za?” Rana semakin penasaran karena sedari tadi omongannya tak kugubris.

“Ada hal urgent. Aku harus pergi cepat-cepat. Kuusahakan sebelum jam tujuh sudah kembali. Tapi kalo belum kau bisa kan gantiin aku dulu?” sambil menyapukan bedak ke pipi aku berucap tanpa memandangnya.

Aku dan Rana memang bekerja di tempat yang sama. Aku masuk malam sedang dia masuk pagi. Ia tak kuliah. Waktunya ia habiskan untuk membaca berbagai buku dan menulis berbagai hal. Cita-citanya memang menjadi penulis. Berbeda jauh denganku yang ingin jadi orang kaya.
“Jelasin dong pake alasan yang logis. Hal urgent apa?”

Hh… ini memang kebiasaan Rana. Ia teman yang baik sebenarnya, mau membantu asal semuanya jelas. Sebab ia tak suka ketakterbukaan.

“Aku janji ntar cerita. Tapi nggak sekarang, soalnya aku buru-buru. Nanti pas aku pulang aku ceritain”  janjiku

SMS kembali bertamu ke nokia N70 ku.
 
Aq dah d dpn pagar kosmu Za.

Kuambil dompet berisi uang tiga puluh ribu, handphone nokia N70 yang layar chasingnya pecah, notes kecil, pena dan memasukkan semua barang-barang itu ke tas ransel buruk rupaku.

“Aku pergi dulu ya” pamitku.

Rana hanya memandang kepergianku tanpa menjawab apa-apa.
***

Kalau ada alasan mengapa aku memilih betah di kota antah berantah yang terlalu identik dengan kemacetan ini, mungkin sesegera mungkin akan kutinggalkan kota kemacetan ini dan telah berada di dunia kedamaian yang kotanya hanya kudapati padi-padi menguning dan pada setiap fajarnya akan ada kokok ayam berkumandang menggantikan dinginnya embun yang tertinggal di daun-daun jambu air yang ranum memerah. Tapi, sekali lagi hal itu hanya bisa kusayangkan. Tak satupun alasan kudapatkan. Dan apabila aku sedang terjepit dalam keadaan seperti ini, terperangkap di angkot merah busuk berbau sirih milik inang-inang yang membawa goni cabe, aku hanya bisa menikmatinya, tanpa meninggalkan sedikitpun rutukan, karena itu adalah jalan hidup yang telah kupilih.

“Aduh, Za... gak sabar kali aku naik angkot ini. Macam keong jalannya.” Bisik Ribi teramat sangat pelan.

“Sabar lah, Bi. Pasti nyampe’ kok kita.”

Kemudian hening kembali mencekam di antara kami. Tanpa kata mata kami saling berbicara. Tentang setangkup rasa khawatir yang menjelaga. Sebenarnya aku pun tak tahu pasti ini perasaan apa. Tapi, kali ini aku betul-betul merasa seperti ada seribu lelah mengejar untuk dapat menggigit hatiku yang di dalamnya kusimpan cinta: untuk orang-orang yang kucinta, termasuk Meta, dan aku berlari dalam resah untuk menyelamatkan hatiku kini.

Si Katty Pery kembali mengaung dalam sepi. Kuraih N70 yang layarnya pun pecah. Pesan singkat dari Meta.

Hncur. Slmt tgl smw.

Tag. Jantungku berdetak seperti patah pada tikungan tajam.

“Bi, liat nich isi SMS Meta. Makin kacau aja tuh anak. Pokoknya kita harus secepatnya nyampe ke rumah dia.”

“Apaan isi SMSnya?” Sambil meraih HP yang kupegang.

“Waduh, makin gawat ini. Ya udah, kita naik becak saja lah. Terlalu lama nanti kalau naik angkot.”

Ya, keadaan mulai terasa tidak bersahabat. Seperti berada di ujung jembatan tali yang tinggal menunggu kegentingan menyelesaikan perjalanan. Tapi kini, masih ada puing harapan untuk sampai di tepi sebelum temali mati. Maka, apapun bentuk usahanya pasti akan tetap kuusahakan. Maka secepat kilat kami berkilah.

“Bang, pinggir depan.” Seruku agar sang sopir memberhentikan angkot merah yang jalan sangat lambat itu.

Secepat kilat pula Ribi mengambil langkah untuk melakukan tawar menawar harga dengan tukang becak motor yang sedang mangkal di tepi jalan. Maklumlah, walau dalam keadaan segenting apapun, rasionalnya tetap berjalan. Tidak segegabah aku, Ribi terlebih dahulu sempat melirik isi kantongnya, sehingga ia bisa menawar harga ongkos becak semampu kami melalui kesepakatan bersama, antara Ribi dan si tukang becak.

Kota Medan tak bersemayam dengan kehangatan kali itu. Hujan menderu melibas waktu. Beberapa pengendara sepeda motor terpaksa harus berhenti menepi sampai menunggu hujan berhenti. Kulihat tampang-tampang mereka. Sebahagian menggerutu, mungkin karena juga  dipaksa menghenti langkah padahal janji bisnis atau sang manager di kantor juga tak akan menerima alasan apapun rupanya. Untunglah kami naik becak, jadi tak harus berhenti menenggelamkan langkah. Tapi, uppss. Kulirik bapak si pengendara becak. Wajahnya kuyup, tapi tetap menerjang jarum-jarum hujan yang mungkin terasa perih di matanya. Agh, seketika iba bertandang di hatiku. Lemas di antara dua belenggu. Ingin rasa meminta si bapak menghentikan becaknya untuk sekedar berteduh, namun sisi lain meminta ia secepat mungkin menarik gas pada tangan kanannya agar kami segera hadir di hadapan Meta. Maaf, Pak. Kali ini anggap lah ini kesepakatan harga yang kita setujui. Batinku.
***

Bersambung...

DUA PULUH : KITA adalah karya kolaborasi antara Diah Siregar dan Rinda Dinamita
Share on Google Plus

About nebula

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

3 komentar :

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com