DUA PULUH : KITA #6

CERITA BERSAMBUNG DUA PULUH : KITA

Dua Puluh : Kita #6 - Cerita Bersambung : Tangis semalam rupanya belum menyelesaikan jarak dengan hari ini. Masih samar-samar terlihat jejak sang Pencipta untuk memberi izin kepada kami agar semua kesedihan Meta terselesaikan. Entahlah, cerita ini pun sungguh sangat dramatis. Dramatis sekali. Jalan yang sebenarnya bisa ditempuh adalah meminta pertanggungjawaban Mang Jono untuk menikahi Meta agar jabang bayi yang ada di perut Meta tidak menjadi anak haram yang tentunya akan mengganggu kestabilan kehidupannya kelak. Tapi, bagaimana mungkin, Mang Jono telah meninggal, mati bunuh diri. Sempat terbersit suatu pilihan untuk menyuruh Meta menggugurkan jabang bayinya. Tapi kemudian langsung terbersit rasa bersalah, jika langkah itu yang kusarankan pada Meta, aku tak ubahnya makhluk berdosa seperti Mang Jono, bahkan lebih pedih, saat aku harus memperkosa bahkan meniadakan kesempatan hidup untuk si jabang bayi. Astaghfirullah.

Agh, seketika suara Tantri dari HP bututku menggoyang lamunanku. Telefon dari Rudy. Huffttt...

“Hallo, Za.”

“Ya, Rud. Ada apa?” Jawabku datar.

“Gak ngampus?”

“Ntar lagi, ni lagi siap-siap.”

“Ok. Aku jemput ya.”

Telefon terputus begitu saja.

Ini salah satu alasan mengapa aku merasa sangat tidak nyaman berada di dekat Rudy. Ia cenderung selalu mengambil keputusan sepihak tanpa pernah berdiskusi terlebih dahulu denganku. Bahkan ketika keputusan itu melibatkan aku sebagai objek dari apa yang hendak dilakukannya. Memang, soal perhatian dan cinta, mayoritas cewek akan merasa diperlakukan seperti bidadari yang senantiasa dibawa terbang ke istana negeri di awan. Tapi itu mayoritasnya dan aku mungkin masuk ke golongan minoritas dalam hal ini. Bagiku cinta itu komunikasi dua arah. Dan itu yang belum bisa dipenuhi Rudy.

Rudy, ya Rudy memang lelaki baik. Bahkan teramat sangat baik. Pintar. Cute. Tajir lagi. Sudah dua semester ini dia berupaya mendekatiku. Bukannya aku kegeeran menganggap Rudy mengharap cintaku. Tapi seperti itulah adanya. Dalam beberapa kesempatan ia telah berusaha menyatakan perasaan cintanya padaku. Tapi, pada beberapa kesempatan itu pula aku kerap menghindar dan mengalihkan pembicaraan dan perhatian agar Rudy tak punya kesempatan untuk itu. Dan bukan Za namanya kalau tidak berhasil. Haha..

“Udah sarapan Za? Kalau belum biar kita sarapan dulu.”

“Udah kok Rud.” Padahal cacing dalam perutku sedang beraksi layaknya kelompok Marching Band yang terlalu semangat memukul genderang lambungku.

“Za, sebenarnya ada yang ingin aku nyatakan padamu. Ini tentang perasaanku.”

Ow ow ow... Kali ini pasti aku tak punya kesempatan untuk mengalihkan pembicaraan. Kalimatnya tepat pada inti permasalahan. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Rasanya ini masih pagi, bahkan mataharipun belum sempurna berada di posisinya, tapi kenapa aku seolah telah berada di posisi terpuruk yang sempurna, Tuhan. Ingin sekali rasanya aku melompat dari atas keretanya. Tapi sebodoh apapun aku tak akan pernah pula kulakukan hal bodoh yang membahayakan jiwaku. Aku memang aneh.

“Hmmm... Harus sekarang ya Rud?”

“Memangnya masalah kalau sekarang?”

“Aku... Aku... Aku buru-buru. Ada tugas makalah yang belum aku selesaikan, padahal jam dua siang nanti harus aku kumpulkan sebagai tugas mid semester.”

“Oh, ya sudah. Kalau begitu kamu selesaikan saja dulu makalah kamu. Kita bicara nanti sore. Aku juga ingin mengajak kamu ke suatu tempat.”

Huftttt... Selamat...

Dalam hati aku bersorak gembira seperti berhasil menggapai hadiah paling besar pada perlombaan panjat pinang dalam acara tujuh belasan. Entahlah apa lagi yang akan kukatakan sore nanti. Nanti saja itu aku pikirkan. Yang penting sekarang aku bebas.

Kelas dimulai. Dosen yang ilmunya kurang di update ini (menurutku) sedang berceramah panjang lebar tentang isi diktat, yang notabene bisa dibaca oleh mahasiswanya secara langsung. Ada sms dari Ribi, dia mengajak bertemu siang nanti.

***

“Za, kita harus melakukan sesuatu untuk Meta. Keadaannya semakin memburuk.”

“Hmmm... Tapi kita bisa apa?”

“Aku juga belum tahu, makanya aku ngajak kamu ke sini. Otakku terlalu kecil untuk mencari solusi seorang diri.”

Sesaat kami hanya terdiam.

“Sekarang Meta di mana?”

“Gak tahu.”

“Ya sudah. Kita bagi peran dulu sementara. Kamu cari tahu Meta di mana. Pastikan dia dalam kondisi yang tidak membahayakan. Bila perlu, kamu harus ada di sampingnya 24 jam.”

“Terus kamu?”

“Aku juga belum tahu. Tapi pasti akan ada yang aku lakukan. Apapun itu. Percayalah.”

***

Senja menyisakan lelah yang belum harus kuhabiskan sempurna. Masih ada yang tersisa. Bahkan terlalu banyak yang tersisa. Aku menunggu Rudy menjemputku. Setelah seperti biasa, dia memutuskan menjemputku tanpa meminta kesediaanku. Tapi kali ini entah apa pula yang kurasa hingga aku memaku langkah, menantinya.

“Maaf ya Za, agak lama.”

“Gakpapa kok Rud. Aku juga belum lama.”

“Ok. Are you ready?”

“For what?”

“Tadi kan aku janji mau ngajak kamu ke suatu tempat yang pasti kamu suka.”

“Ok lah. Whenever it is.”

Rudy menyalakan mesin motornya, secepatnya kemudian kami berlalu meninggalkan angin yang tak ingin diganggu sangat mencumbu daun jambu. Agh, sungguh aku tak menyangka Rudy mengajakku ke warung nasi goreng Pak Min. Entahlah, ada setumpuk rasa tidak percaya, bagaimana bisa lelaki metropolis seperti Rudy mau makan di warung pinggir jalan seperti ini. Tentu sangat berbeda denganku yang belum memperdulikan apa yang kumakan, yang penting ternakan cacing dalam perutku tidak terlalu sering melakukan aksi demonstrasi, hanya itu yang ada di pikiranku.

“Kamu.... Kamu serius ngajak aku makan di sini. Kamu gak papa?”

“Za, apapun akan aku lakukan untuk kamu. Aku gak akan keberatan untuk menghabiskan makanan yang sudah bercampur dengan debu kendaraan, makanan dengan bahan yang mungkin busuk, atau makanan berformalin sekali pun. Aku gak peduli, Za. Bahkan kalau besok aku mati karena makanan ini, aku gak akan keberatan, karena seenggaknya aku buat kamu bahagia hari ini.”

Aku membisu. Bahkan hampir kaku. Ada yang bergeletar dalam dadaku. Ah, Rudy, Rudy yang selama ini kunilai terlalu tidak pernah bereksperimen dengan hidupnya, terlalu serba lurus menyikapi permasalahan hidup, mungkin karena memang jalan hidupnya yang lurus karena berasal dari keluarga yang berada, ternyata mampu menginjak batu-batu petualangan hanya demi aku. Mungkin bagi orang lain makan di warung pinggir jalan itu biasa, sepele, tapi aku kenal Rudy, butuh kekuatan super besar untuknya agar  memberanikan diri makan di tempat seperti ini. Dan sore ini, semua demi aku. Entahlah.

“Rud, kalau kamu berat makan di sini, kita cari tempat lain aja. Aku gakpapa kok.”

“Enggak, Za. Tempat ini bermakna untuk aku.”

“Maksud kamu.”

“Selama ini kamu gak tahu kan kenapa aku bisa sekuat ini mengejar cintamu? Kamu tahu kenapa?”

Aku menggelengkan kepala, menunduk. Ada air yang ingin tumpah dari bola mataku. Tak tahu apa sebabnya.

“Aku melihat kamu pertama kali di warung ini, Za. Saat itu kamu sedang berebut giliran dengan pelanggan lain yang juga sedang memesan nasi goreng. Kamu ingat?”

Ya, memori otakku mulai mencerna. Melakukan flashback pada hari itu. Ketika cacing-cacing dalam perutku mulai melakukan aksi demo luar biasa, aku memutuskan untuk berjalan dari kampus ke warung ini dengan alasan sederhana: murah dan banyak. Dan seperti biasanya warung nasi goreng ini terlalu ramai. Hingga harus kurelakan mengantri hampir satu jam setengah demi  seporsi nasi goreng. Dan saat perjuanganku hampir mencapai kemenangannya, seorang pria seenak hatinya memotong antrianku dan memaksa Pak Min untuk melayaninya terlebih dahulu. Sontak saja emosiku naik langsung pada derajat ke 361. Segala umpat cacian pun kulayangkan pada lelaki itu.

“Kamu tahu siapa lelaki itu? Dia temanku. Saat itu aku melihatmu dari dalam mobil, Za. Aku terpana akan keberanianmu. Dan saat itu wajahmu tetap tersimpan utuh di memori pikiranku.”

Aku tergugu.

“Za, aku mencintaimu, cinta yang tanpa alasan.”

“Rud, aku... aku...”

“Sudahlah, Za. Tak perlu memaksa untuk merespon pernyataanku. Sudah kukatakan, cintaku tanpa alasan, dengan atau tanpa sambutan cintamu, cintaku akan tetap menjadi sebentuk cinta yang seperti ini, tidak akan berkurang.”

Kemudian aku tersenyum, sebenar-benarnya senyum yang tanpa beban pula. Agh, rasanya sore ini hatiku sangat bahagia. Entahlah, segala bentuk pandangan yang kunilai negatif tentang Rudy selama ini sirna begitu saja. Sore ini adalah sore terindah. Saat kami bisa sama-sama tertawa lepas. Saat ternyata baru kuketahui bahwa Rudy memiliki selera humor plus bakat ngelawak sekaligus. Oh, sungguh ternyata aku telah salah menilai tentang Rudy selama ini.

Senja jingga saat burung-burung gereja kembali ke sarang. Rudy mengantarku pulang.

“Makasih banyak atas sore ini ya Rud. Aku senang banget.”

“Makasih juga atas hadiah terindah yang sudah kamu berikan untukku, Za.”

“Hadiah apa? Aku kan gak ada ngasih apa-apa.”

“Sebentuk senyum dengan tawa yang kau punya bagiku adalah hadiah terindah di dunia ini Za.”

Sekali lagi aku tersenyum. Entah siapa yang sedang bermain kembang api di dalam hatiku. Dan  entah kupu-kupu mana yang mampu menggelitik rasa di sanubariku. Indah.

Bersambung...

Dua Puluh : Kita adalah karya kolaborasi antara Diah Siregar dan Rinda Dinamita
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

2 komentar :

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com