Tulisan ini -dimuat di harian Analisa, 03 Maret 2013. Namun sedikit hal yang saya sayangkan sebagai penulisnya adalah, tulisan ini dipotong. Dan yang dipotong justru inti dari tulisan ini sendiri. Ya, saya paham sih, mungkin redaktur punya alasan sendiri kenapa memotongnya. Cuma sayangnya ya itu tadi, yang dipotong justru bagian yang menurut saya tidak boleh dipotong. Jadi, disini saya posting tulisan ini secara utuh. Selamat membaca ^_^
“Ya
Allah, berilah hamba uang 1 milyar saja.”
Saya tersenyum membaca
status salah satu teman di jejaring sosial. Hal pertama yang terbersit di
pikiran saya adalah : ada-ada saja ini orang, aslinya pasti lucu. Lalu saya pun
mengabaikannya. Saya memang tidak terlalu mau tahu status teman-teman di
jejaring sosial yang memang tidak semuanya saya kenal. Apalagi memang
kebanyakan statusnya lebay dan
sengaja mencari sensasi.
Beberapa hari setelah
itu, saya kembali melihat orang yang sama menulis status yang sama. Saya pun
penasaran dan membuka wall nya.
Ternyata statusnya memang itu-itu saja. Meskipun ia meng-update status, tetap dengan status yang sama. Hal ini berlangsung
selama beberapa minggu. Tiap kali saya buka akun saya, pasti di beranda muncul
si teman dengan statusnya yang masih sama.
Meski awalnya tidak
peduli, namun akhirnya entah kenapa timbul pertanyaan dalam hati saya : “Kalau
nanti Tuhan benar-benar memberinya uang satu milyar. Apa yang akan dilakukannya
dengan uang itu? Kira-kira dia bakal berhenti meminta atau tidak ya? Ada malau
memita dengan jumlah yang lebih banyak lagi”. Saya pun tersenyum dengan
pertanyaan saya sendiri. Pikiran saya langsung tertuju pada hal-hal yang sering
kita lihat (bahkan mungkin kita alami) : tidak puas. Sering kali kita
memohon-mohon sesuatu pada Tuhan. Seolah-olah itulah permintaan satu-satunya.
Seolah-olah jika permintaan kita dikabulkan, kita tidak membutuhkan yang lain
lagi. Dan kita pun memohon-mohon dengan amat sangat agar Tuhan mengabulkan
permintaan kita. Lalu ketika permintaan kita dikabulkan, bukannya bersyukur,
kita pun merengek-rengek lagi minta yang lainnya. Saya pun terus saja tersenyum
dengan pemikiran saya sendiri, lalu seperti bertaruh dengan diri sendiri saya pun
berucap : yakin deh, kalau
permintaannya dikabulkan, pasti dia minta lebih.
Benar saja. Entah di
hari ke berapa, status si teman berganti dari “Ya Allah, berilah hamba uang 1 milyar saja.” menjadi “Ya Allah, berilah hamba uang 37 milyar
saja”. Wow…jumlah yang fantastis. Saya pun seperti biasa, hanya
tersenyum-senyum membaca statusnya. Sampai tulisan ini dibuat, teman saya itu
masih menuliskan kalimat yang sama di statusnya.
Pasti banyak yang
bertanya-tanya, apa maksud tulisan saya kali ini dari cerita di atas. Kali ini
saya ingin bercerita tentang kata : puas. Beberapa orang mengatakan bahwa sifat
manusia adalah tidak pernah puas. Dikasih hati minta jantung, dikasih sepuluh
minta seratus. Seperti cerita teman saya di atas tadi. Awalnya merengek minta
uang satu milyar. Eh begitu dikasih, minta tiga puluh tujuh milyar lagi. Terkesan
ia tidak puas dan tak bersyukur (walaupun mungkin ia memang benar-benar
membutuhkan uang tersebut untuk sesuatu yang penting).
*Nah, yang dimuat tuh cuma sampai sini saja. Padahal masih ada sambungannya seperti di bawah ini :)
Menurut hemat saya,
sejatinya kepuasan bukan terletak pada besaran nilai mata uang yang terkandung
dalam benda/hal yang kita dapat. Tapi lebih pada seberapa besar kemampuan kita
menganggapnya sebagai sesuatu yang harus kita syukuri. Kepuasan berhubungan
erat dengan bersyukur dan iklas.
Sebagai manusia (tak
terkecuali remaja), seringkali kita lupa untuk bersykur. Kita seperti berlomba
dengan obsesi-obsesi kita sendiri hingga lupa untuk mensyukuri apa yang telah
kita dapat dan yang Tuhan berikan untuk kita. Begitu juga dengan iklas.
Seringkali kita menganggap Tuhan tak adil. Menganggap bahwa kita layak mendapat
lebih dari apa yang kita dapat saat ini. Kedua hal ini berimbas pada kepuasan
yang kita rasakan. Jika terus-terusan kita lupa untuk mensykuri apa yang kita
dapat dan tidak ikhlas menerimanya, otomatis kita pun tak akan merasa puas.
Hidup itu relatif,
begitupun dengan kepuasan yang dicapai masing-masing orang. Semua tergantung
cara berpikir kita. Ada orang yang memiliki harta banyak, karir yang sukses,
keluarga yang menyayanginya, namun tak pernah merasa puas. Alhasil semua yang
telah ia raih tak pernah ia nikmati. Hanya lelah di badan, lelah di pikiran.
Apa asyiknya hidup seperti itu? Lalu ada juga orang yang hidupnya pas-pasan
namun selalu tersenyum bahagia pada siapapun. Hal itu karena orang tersebut senantiasa
bersyukur atas segala yang ia dapati. Ia ikhlas dan bersyukur dengan nikmat
yang diberikan Tuhan. Rasa syukur dan ikhlas itulah yang memicu rasa puas
didirinya hingga merasakan kebahagiaan. Jadi, sudahkan kalian bersyukur dan
ikhlas atas apa yang kalian dapatkan saat ini?
***
Kamar
ke-7, 22 Mei’12
*penulis adalah
anggota Koper Indie, Backpacker Medan, Sheilagank Sumut dan tinggal di Medan.
Email/fb/twitter :
quelle_idee@ymail.com
Ya Allah berilah saya uang 1 milyar. Aamiin
BalasHapusYa Allah berilah saya uang rupiah asli 1 triliun nyata dan kontan. Aamiin
BalasHapusYaa Allah Yang Maha Kaya, Yaa Allah Maha Raja Diraja, "berilah hamba uang 3,6 Milyar", 2/3 bagian untuk berbagi dengan anak2 yatim, berbagi dengan para fakir miskin, memakmurkan masjid2 serta berjuang di jalan Engkau Yaa Allah. Dan 1/3 bagian lagi untuk menjalankan usaha yang mana hasilnya untuk diri kami, untuk anak2 yatim, para fakir miskin, memakmurkan masjid2 dan berjuang di jalan Engkau. Kabulkan permohonan hamba Yaa Allah, Amiin.
BalasHapus