Photo by : Perempuan November |
17 Januariku, tak banyak kata yang sanggup kurangkai. Tapi segalanya masih jelas di ingatan. Ini kisah lama. Tapi masih begitu lekat dalam ruang memori. Sungguh. Walau waktu adalah obat mujarab bagi segala luka, nyatanya kau tetap ada. Ah ya, aku hampir lupa, kau memang bukan luka. Hanya, sedikit hampa.
Mengingatmu adalah salah satu cara untuk ku merasa remaja. Masa putih abu-abu yang kita lewatkan bersama. Masa dimana kita cukup berani untuk saling mengaitkan benang rajut kebersamaan yang membentuk lukisan hati merah muda di atas kanvas perbedaan. Yah, perbedaan.
Aku masih belum lupa bagaimana para sahabat mencibir keputusanku membiarkanmu masuk dalam hari-hariku. Bagaimana mereka mengingatkan bahwa kau bukanlah yang terbaik. Nyatanya kau memperlakukanku dengan sangat baik. Nyatanya hari-hariku sangat berwarna. Dan akhirnya, mereka menerimamu dengan tangan terbuka.
17 Januari, kau ingat tanggal itu? Itu tanggal pertama kali kau menggenggam tanganku erat di parkiran sekolah dan meyakinkanku kalau kau pantas untuk kuperjuangkan. Kau bukan yang pertama yang mengungkapkan cinta. Tapi kau yang pertama yang menggetarkan jiwa lewat segala pertemuan dan kebersamaan. Di antara sekian yang memuja, kau yang paling bisa membuatku merasa cukup hanya dengan kau seorang. Kau membuatku tak menginginkan yang lain. Cukup kau. Dan hanya kau.
Meninggalkan masa putih abu-abu, kita dihadapkan pada hal-hal yang sebelumnya tak ingin kita pikirkan. Dan kembali -seperti saat kita cukup berani untuk berjalan bersama-, kita akhirnya cukup berani melepas yang pernah saling bertaut.
Lagi-lagi, banyak yang berkomentar ini-itu. Mereka yang dulu mencibir –dan kemudian menerima-, ikut-ikut bersuara. Menyayangkan kenapa harus membiarkan semuanya terlepas. Mengatakan kalau aku seharusnya terus maju, dan menarikmu. Itu tentu sangat mudah kulakukan. Kau pun pasti dengan mudah mengucap dua kalimah syahadat demiku. Tapi itu tak kulakukan. Karena buatku, cinta adalah kemerdekaan. Termasuk kemerdekaan berkeyakinan. Akan menyenangkan buatku jika mendapatimu meyakini keyakinanku. Tapi yang kuinginkan adalah kau meyakininya karena memang kau yakin, bukan karena orang yang kau cintai meyakininya. Cintaku adalah cinta yang bebas. Tak terkungkung oleh batasan-batasan dosa jika aku mengikuti keyakinanmu, atau iming-iming pahala besar jika berhasil menarikmu ke keyakinanku.
Untuk usia yang masih tergolong muda kala itu, aku bahagia karena kita memiliki cinta yang tak egois. Cinta yang dewasa tanpa perlu mempertanyakan siapa yang salah. Sebab memang tidak ada yang salah. Tidak ada yang salah dengan getar indah yang kita rasakan bersama. Tidak ada yang salah dengan garis takdir yang mempertemukan kita. Tidak ada yang salah dengan kenyataan bahwa kita dilahirkan dari rahim dua orang ibu yang berbeda keyakinan. Pun tidak ada yang salah dengan segala ketentuan-Nya atas kita. Karena bagaimanapun, cinta adalah hal yang patut disyukuri.
Butuh empat tahun untuk bisa menemukan sosok yang bisa menggetarkan kembali hati ini. Hampir tak percaya mengingat aku tak mudah menaruh cinta. Tapi begitulah, waktu menjawab segala tanya.
Kini, walaupun aku masih [kembali] berteman sepi, percayalah, itu bukan karena aku terlalu mendamba yang telah terlewati. Pada siapapun hati ini berlabuh nanti, kau akan tetap menjadi salah satu hal manis yang pernah kumiliki.
Ah, beda keyakinan :')
BalasHapusya begitulah adanya :)
Hapusbtw, trima kasih sudah berkunjung mbak :)
Kisah yg menggetarkan hati bagi setiap yg membacanya.. Nice post Mbak...
BalasHapussaya pun terkadang masih tergetar kala ia hadir dalam mimpi saya mbak, terima kasih banyak mbak sudah berkenan mampir :)
Hapusehm..sedih yaaaa, saya juga pernah ngerasain mbak, lebih ngilu daripada dikhianati.
BalasHapusTerimakasih sudah berpartisipasi
Wah.. pernah ngalamin juga ya mbak. Sedih sekali kalau diingat-ingat. Tapi ya iklhas saja lah, mudah-mudahan bahagia dengan jodoh masing-masing :)
HapusSama-sama mbak, terimakasih sudah berkunjung :)