Hujan. Ini malam ke-enam
di bulan Maret. Ini hujan pertama setelah menginjak malam ke-enam di bulan
Maret. Bulan di mana salah satu hari di dalamnya adalah hari di mana kita
pertama kali menikmati hujan bersama. Aku suka hujan malam ini. Juga hujan pada
malam-malam sebelumnya. Hari-hari sebelumnya. Juga hujan pada masa-masa setelah
ini. Aku pasti menyukainya. Pasti akan hadir sebuah ingatan tentang hujan yang
telah lalu. Juga impian akan hujan di masa mendatang. Hujan adalah rumah bagi
kenangan yang pernah kumiliki. Yah, kenangan. Selalu ada kenangan yang hadir
tiap kali hujan turun. Entah itu sedih atau senang. Entah itu pahit atau manis.
Entah itu getir atau hambar sekalipun. Hujan selalu menawarkan menu kenangan. Kenangan
yang hampir seluruhnya berkisah tentangmu. Setidaknya kenangan tentang hujan
setahun belakangan ini.
Kuseruput kopi panas
yang baru saja kusedu sendiri. Tak ada orang lain. Aku memang selalu sendiri,
bahkan sebelum kau hadir. Baru setelah kau hadir aku tak sendiri. Sekarang, dua
bulan setelah kau berlalu aku kembali sendiri meski jiwaku selalu ramai. Ya,
jiwaku tak sendiri. Ia tak pernah sepi olehmu. Selalu ada kau dan aku dalam
jiwaku. Selalu ada kita dalam ruang pikirku.
Kita bertemu belum
lama. Belum genap tiga belas bulan. Tapi bukan berarti mudah untuk
menghilangkan kau dari ingatan. Bukan juga berarti tiap hujan datang aku selalu
menagisimu. Tidak. Aku tidak secengeng itu, meski pada waktu-waktu tertentu aku
bahkan lebih cengeng dari itu. Mengingatmu memang menyakitkan, tapi toh aku tak
punya pilihan lain selain mengingatmu dan menelan pil pahit kepedihan.
Waktu itu tengah malam.
Di luar hujan turun begitu lebatnya. Di antara takutku akan kilat-kilat yang
menyambar-nyambar, kudengar irama lain. Bukan irama hujan. Bukan pula irama
dahan-dahan pohon mangga di sebelah rumah yang digoyang angin. Kudengar irama
ketakutan yang tersirat lewat ketukan di daun pintu yang kurasa sangat
tergesah-gesah.
“Tolong biarkan aku
masuk, kumohon, untuk malam ini saja. Jangan katakan kalau aku di sini”
Kau berdiri dengan
gigil. Suaramu merdu meski pelan. Nyaris tertelan hujan andai aku tak
memperhatikan gerak bibirmu. Belum sempat kujawab ucapanmu, kau telah berlari
masuk dengan tubuh basah kuyup. Beberapa saat aku hanya diam memandangi hujan
yang seolah berlomba mencapai tanah. Hujan, apa kau sengaja mengirim bidadari
untuk menemaniku menikmatimu, bisikku. Wajah putih bersih nan cantikmu, suara
lembutmu, tak berlebihan jika kukatakan kau bidadari.
Kau meringkuk ketakutan
di sudut kamar sambil sesekali menyibak tirai jendela. Menutupnya lagi lalu
menunduk dengan tubuh gemetar. Aku hanya memandangimu sedari tadi. Masih tak
mengerti dengan kehadiran sosokmu yang tiba-tiba dan mengundang begitu banyak
pertanyaan di kepalaku. Siapa kau? Kenapa tengan malam dan hujan-hujan begini
mengetuk rumah orang? Atau mungkin kau benar-benar bidadari?
“Boleh aku meminjam
pakaianmu?” keningku berkerut mendengar suaramu yang sayup-sayup. Masih semerdu
tadi.
“Maksudku pakaian
ibumu, saudara perempuanmu, atau istrimu.”
Aku menggeleng. “Aku
sendirian. Tidak ada pakaian perempuan.”
“Kalau begitu pinjamkan
aku pakaianmu.” Aku terkesima. Seperti terbius lembut suaramu. Tak ada alasan
untuk menggeleng meski berbagai pertanyaan di kepalaku masih belum juga
terjawab.
Malam itu kau tidur di
ranjangku sedang aku semalaman tak tidur. Hanya duduk di sofa sambil
memandangimu. Itu malam pertama kita menikmati hujan. Kau menikmatinya dengan
lelap di ranjangku. Aku menikmatinya sambil memandangimu yang lelap di
ranjangku.
“Terima kasih sudah
mengijinkanku bermalam di rumahmu,” kau membuka percakapan kita pagi itu. Aku
tak menjawab. Hanya memandangimu. Ah, entah kenapa aku tak jua bosan meski
semalaman kuhabiskan memandangimu.
“Oya, siapa namamu? Aku
Hara.” Segaris senyum kau suguhkan, coba cairkan suasana.
“Firza.”
“Terima kasih sudah
mengijinkanku bermalam di rumahmu.” Kalimat itu lagi.
“Kenapa saat hujan
lebat dan tengah malam kau mengetuk pintu rumahku?” jelas sekali perubahan di
raut wajahmu. Tiba-tiba aku menyesal telah begitu terus terang. Aku memang tak
pandai berbasa-basi, mungkin karena begitu banyak waktu yang kulewatkan
sendiri.
“Mereka hendak menjual
dan menjadikanku wanita penghibur. Aku… aku tidak mau.” Kau berucap terbata
dengan mata berkaca-kaca sebelum akhirnya pipimu basah. Aku hanya diam
mematung.
“Mereka… mereka sudah
seperti kakak dan abang buatku. Kami tumbuh bersama di jalanan. Mereka yang
selalu melindungiku. Kupikir mereka tulus, sampai akhirnya tadi malam seorang
kakakku datang bersama seorang pria berdasi. Ia memintaku ikut serta dengan
pria itu. Aku tak bisa lari saat mereka memaksaku masuk ke mobil. Namun saat
hendak ke hotel, entah bagaimana aku bisa lari dan sampai di depan rumahmu. Aku
tak tau lagi hendak kemana hujan-hujan seperti ini. Itu sebabnya kuberanikan
diri mengetuk pintu rumahmu.” Panjang lebar kau bercerita, aku hanya mematung.
Menahan geram pada mereka yang kausebut abang dan kakak.
“Lalu, kau mau kemana
sekarang?”
“Aku.. tidak tau,”
ucapmu sambil menggeleng dalam tunduk. Tak tega aku mendengar suara lembut nan
sendumu. Beberapa saat kita saling diam.
“Akan kupikirkan sambil
menunggu pakaianku kering,” sambil memandang hampa ke pakaianmu yang kugantung di
jemuran kau mengucapkan kalimat itu.
Nyatanya, ketika
pakaianmu kering kau masih tinggal di rumahku. Entah apa yang merasuki
pikiranku hingga berani menahamu agar tak pergi. Menawarkan untuk kau tinggal
bersamaku dengan garansi “kau aman di sini”. Kau yang memang tak memiliki
tujuanpun akhirnya mau.
Sejak itu, aku tak lagi
sendiri. Ada kau yang lelap di ranjangku saban gelap merayap. Dan selalu ada
aku yang tidur di sofa dan terbangun beberapa kali dalam satu malam hanya untuk
memastikan : kau masih di ranjangku.
Terkadang aku tak tidur
semalamam hanya untuk memandangimu. Kau begitu memesona bahkan disaat terlelap.
Sangat memesona hingga aku tak berani mengusikmu barang sebentar. Hanya berani
memandangmu tanpa punya keberanian untuk menyentuh lembut pipimu. Pesonamu
membuatku selalu ingin menjagamu.
Hari-hariku tak sepi lagi.
Aku mulai pandai berbasa-basi. Mulai belajar cara tertawa. Rumah menjadi tempat
yang sangat menyenangkan dan selalu kurindukan. Aku seperti camar yang tak
betah terbang. Selalu ingin pulang dan mendapati senyummu. Meski keinginanku
untuk memberitahu dunia –ada kau menemani hari-hariku – tak jua kesampaian,
sedikitpun aku tak berang. Aku cukup paham, kau takut mereka menemukanmu. Itu
sebabnya kau selalu memilih menungguku di rumah dengan berbagai aktifitas :
belajar memasak, merawat bunga dan menghias rumah. Menghias wajah? Aku tak
pernah mengkhawatirkannya. Kau sangat ahli dalam hal itu. Bahkan kau sangat
lihai menyapukan riasan ke wajahmu hingga seringkali aku pangling. Terkadang
kau menambahkan tahi lalat palsu di bagian wajahmu. Lain waktu kau menggunakan
rambut palsu yang ikal dan panjang sedangkan rambutmu sendiri lurus. Di hari
lain kau berdandan ala wanita karir dengan penampilan dewasa. Pernah juga kau
berpenampilan seperti mahasiswi. Aku sungguh kagum dengan kemampuanmu
berdandan. Meski kau berasal dari jalanan, tapi sungguh kau mampu membuatku tak
mengenalimu karena riasanmu. Aku curiga, jangan-jangan tiap wanita memang
memiliki kemampuan merias diri sejak mereka lahir, seperti dirimu.
“Aku takut bertemu
mereka, kalau begini kan mereka tak akan mengenaliku.”
Begitu selalu alasanmu
saat hendak keluar rumah bersamaku.
Menghabiskan waktu
bersamamu tak pernah membosankan meski hanya kita lewatkan dengan menikmati
hujan dan teh panas di teras belakang. Aku benar-benar seperti tak memerlukan
hal lain untuk hiburan. Tak perlu menonton tv atau membaca koran untuk mengisi
waktu. Tak perlu bermain game.
Praktis, kau begitu mudah masuk ke hari-hariku.
*
“Apa kau masih lama
pulang?”
“Ya, sepertinya aku
lembur. Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Ada apa? Apa kau butuh
sesuatu?”
“Ah tidak, entah kenapa
aku ingin jalan-jalan keluar.”
“Kalau begitu tunggulah
dulu, kuusahakan cepat pulang.”
“Tidak usah, aku rasa
tidak apa-apa jika aku keluar sendirian. Lagi pula sudah hampir setahun kan,
mereka pasti sudah tak mencariku lagi.”
“Tapi…”
“Tak apa, aku akan
baik-baik saja, oke!”
Klik.
Sambungan diputus.
Seketika aku dilanda kekhawatiran. Namun hanya sesaat, sebab setelahnya aku
kembali larut dalam dokumen-dokumen perusaan yang menumpuk.
*
Masih hujan. Pikiranku
masih asik bermain bersama bayangmu. Kuhela napas berat, masih belum percaya :
aku kembali sendiri.
“Mereka
hendak menjual dan menjadikanku wanita penghibur. Aku… aku tidak mau.”
“Haraniah
Prala akhirnya tertangkap setelah buron selama setahun. Wanita yang berprofesi
sebagai wanita penghibur ini tertangkap saat sedang berjalan di sekitar taman
kota. Haraniah Prala menjadi buron setelah diketahui membunuh rekan
seprofesinya, WL dan seorang pria pengusaha kaya berinisial NK. HP mengaku
membunuh keduanya karena kesal NK tak lagi menggunakan jasanya dan beralih ke
temannya WL. Atas perbuatannya HP dijerat pasal berlapis dan diancam hukuman
penjara maksimal seumur hidup. Demikian berita hari ini.”
Kalimat-kalimat itu
seakan berlomba menyesaki gendang telingaku. Seperti mentertawaiku.
***
Kamar
ke-7, Maret-Mei’12
NB : dimuat di Analisa, 06 Maret 2013
Mantap endingnya, walopun mnurutku pribadi terlalu banyak yang dideskripsikan dengan percuma, but keseluruhan mantap
BalasHapusheheheee... laen waktu harus perhatiin porsi deskripsinya nih :) thanks kripiknya :)
Hapusbagus ya,,jalan cerita yang renyah
BalasHapushehhee... thank you, serenyah keripik kentang nggak?! :)
Hapusnice :)
BalasHapusthanks Dew :)
Hapus