mahasiswa poenya masalah

KAMI BUKAN MESIN UANG

Jadi mahasiswa memang rumit.Mau ngurus surat ini itu(baca : surat keterangan berbagai hal, misal : surat keterangan aktif kuliah, keterangan penelitian dll) saja susah.

“ KTM ku hilang waktu dompetku kecopetan kemarin lalu aku lapor ke BNI.Katanya suruh ngurus surat keterangan mahasiswa dari jurusan.Dah ku urus di suruhnya lagi aku ke BNI pusat.Lama banget deh prosesnya”

Lain lagi dengan mahasiswa asal Aceh stambuk ’06 yang baru saja mengurus surat keterangan aktif kuliah. Ketika ditanya apakah dia harus membayar uang “capek” kepada petugas dirinya menjawab seperti ini “ iya bayar.Kalau tidak dia bisa merepet tak jelas”

Sementara itu Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris ’03 yang hendak mengurus surat penelitian angkat bicara “ Bayar Rp.5000,-.Harusnya gratis sih, tapi mau gimana memang udah membudaya, mau gak mau ya ngikut aja”

Yah..seperti itulah salah satu kerumitan menjadi mahasiswa.Bukan hal yang gampang memang.Di atas sudah dijelaskan bagaimana lelahnya jadi mahasiswa. Dari awal sudah harus berdesak-desakkan untuk membeli formulir SNPTN, ikut bimbingan agar lulus pada pilihan pertama. Begitu dinyatakan lulus senang bukan kepalang. Hari pertama kuliah dilalui dengan senyum mengembang, merasa bangga bukan main “ Aku adalah mahasiswa” begitu kira-kira kalimat yang terngiang di kepala.

Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit senyum itu memudar, berganti dengan wajah sayu nan pias karena banyak hal yang dirasa amat sulit untuk dilalui. Kondisi seperti ini sering dialami oleh mahasiswa kita, baik itu dikarenakan oleh faktor internal pada diri masing-masing mahasiswa (salah jurusan sehingga merasa tidak sanggup mengikuti perkuliahan, kuliah terasa membosankan) atau karena hal-hal yang berkaitan dengan institusi pendidikan yang dirasa tak sesuai dengan apa yang dibayangkan sebelumnya ; dosen yang dianggap kurang kompeten, fasilitas yang kurang memadai (padahal sudah bayar uang praktek), tugas yang berat namun tidak berbobot ( tugas yang memberatkan mahasiswa namun tidak memacu potensi mereka) ataupun masalah ekonomi yang dirasa memberatkan.Misalnya saja bagi mahasiswa kalangan menengah kebawah dan ngekos di Medan.Biasanya yang mereka permasalahkan adalah masalah tugas-tugas yang diberikan dosen terasa amat berat untuk diselesaikan. Berat yang dimaksud disini tidak hanya dari segi bahan, tetapi lebih pada segi ekonomi dan konsekuensi nilai yang di dapat jika mengerjakan tugas tersebut.Seperti yang dinyatakan D, mahasiswa semester V fakultas FBS “ kalau masalah tugas yang sulit dari segi materi tugas sih gak masalah asal dosen memberi nilai secara objektif dan realistis. Yang jadi masalah adalah jika kita sudah capek-capek ngerjain, rajin dateng, aktif di kelas eh dapet nilai yang mengecewakan dan tidak sesuai. Padahal kita sudah habis biaya banyak buat ngerjain tugas, browsing internet, buat makalah, memfotocopy makalah sebanyak mahasiswa yang mengambil mata kuliah tersebut.Capek deh..”ungkapnya panjang lebar. Masalah objeksifitas dosen memang sudah jadi rahasia umum di universitas kita. Yang lebih parahnya lagi, ada salah satu dosen FBS yang memberikan nilai entah dengan indikator apa.Bisa-bisanya bapak dosen yang terhormat itu memberikan nilai bagus kepada mahasiswi yang jelas-jelas sedang tidak aktif kuliah(cuti), sedangkan mahasiswa yang aktif kuliah dan mengikuti dengan baik mata kuliah yang diajarnya, mengerjakan tugas-tugas dengan konsisten, rajin datang malah mendapat nilai E hingga mereka mengalami masalah untuk dapat mengikitu PPL(padahal mahasiswa-mahasiswa tersebut lulus tes PPL yang di adakan pihak Universitas). Memang, jika kita memantau cara bapak dosen ini mengajar. Sudah cukup bagus memang.Dia memang seorang dosen yang idealis, objektif dan berwibawa (sekilas), but itu hanya dari covernya saja.Terbukti dengan metode penilaian yang ia terapkan yang menurut kebanyakan mahasiswa telah menyimpang dari yang seharusnya.” Sudah lelah pikiran, lelah pisik, pengeluaran banyak, dapat nilai jelek pula.Palak kali awak” Begitulah kira-kira rangkuman gerutuan para mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya. Konon kabarnya nih (masih tentang bapak dosen yang berlagak idealis itu), beliau suka sekali membuat pusing mahasiswa yang mau skripsi. Jika ada mahasiswa yang mendapatkan bapak yang satu ini sebagai dosen PS nya, siap-siap sajalah untuk mengelus dada, sebab beliau paling susah di temui. Kalaupun ada di jurusan pasti ada saja alasannya jika sang mahasiswa meminta sedikit waktunya untuk konsultasi. Entah memang sibuk, entah pura-pura sibuk.But, kalau memang sibuk, kenapa bersedia menjadi dosen PS.Harusnya dia menyadari dunk tuntutan profesinya. Usut punya usut ternyata dosen PS tersebut paling suka di beri “pelicin” sehingga sang mahasiswa harus tanggap dan melakukan tindakan penyelamatan yang tidak terpuji demi kelancaran pendidikannya yang tinggal beberapa langkah lagi untuk memperoleh gelar sarjananya. Berbicara masalah “pelicin” memang sudah menjadi hal umum di kampus kita. Walaupun sudah ada himbauan agar tidak ada dosen dan mahasiswa yang melakukan praktek-praktek tak terpuji itu. Toh, tetap saja hal semacam itu ada. “Maklumlah, kalau tak begitu, tak selesai urusan awak” begitu rata-rata berpikir.

Sementara itu salah satu mahasiswi FMIFA mengungkapkan kesedihannya karena kemungkinan besar baru bisa menyelesaikan kuliahnya Nopember tahun depan dikarenakan dosen Psnya sedang kuliah di luar negeri.”Saya sudah meminta untuk ganti dengan dosen lain, tapi tidak bisa.Mereka beralasan bahwa satu dosen sudah menangani sekitar 8 mahasiswa, jadi mereka tidak mau menambah lagi.Nasib kami ber-8 lah” ungkapnya lirih. Suka dukanya dalam proses skripsi juga dirasakan mahasiswi FBS berinisial MK, dia berujar bahwa proses yang dihadapinya sangat lambat dan siapa-siapa yang menjadi dosen PS lama sekali di umumkan. Yang lebih lucunya lagi jika kita menyimak pembicaraan singkat yang sempat terekam tim Kreatif di bawah ini : “ Stambuk berapa rupanya kau nak?” “ 2004 bu” sahut si mahasiswi bersamaan.” Ah masih mudanya kalian, masih lama jatah kalian disini, udahlah tahun depan sajalah ya” “Janganlah bu!” jawab kedua mahasiswa di iringi tawa.Percakapan tersebut adalah percakapan 2 mahasiswi bahasa dengan dosen PS nya ketika mereka meminta tanda tangan si dosen PS. Ada nada bahwa si dosen sengaja memperlama waktu mahasiswa di universitas ini dan menandatangani apa-apa yang harus ia tanda tanganni berdasarkan stambuk, bukan berdasarakan kelayakan si mahasiswa.Mungkin hanya candaan biasa, but jika melihat realita pada senior-senior sebelumnya, ucapan tersebut bisa jadi benar.

Aneh-aneh(tapi banyak sedihnya) memang cerita kawan-kawan mahasiswa yang memperjuangkan skripsinya. Seperti pemberian amplop pada dosen penguji atau bahkan ada yang sampai belasan kali harus merevisi proposalnya. Yah wajarlah, mungkin memang si mahasiswa belum kompeten. Tapi ya mbok pakai nurani lah kalau mencorat-coret proposal si mahasiswa. Jangan hari ini menyalahkan bagian yang ini lalu setelah direvisi disalahkan bagian pada lembar berikutnya padahal sebelumnya bagian itu tidak disalahkan(atau mungkin sengaja tidak di periksa). Kalau banyak yang perlu diperbaiki ya bilang sekaligus biar tidak perlu merevisi sampai belasan kali. Kan kasihan mahasiswanya harus bolak balik kerja, lagi pula bukankah ini pemborosan namanya. Terlalu bertele-tele hingga terkesan tidak efisien.

“ Selama saya menjabat tidak ada aksi-aksi seperti itu” Drs Daulat Saragih, MPd selaku PD III Fakultas Bahasa dan Seni memberi tanggapan menyangkut permasalahan di atas. Hanya saja menurut beliau, terkadang ada saja mahasiswa yang menciftakan sendiri hal-hal yang mengarah pada tindakan pemberian uang(baik itu uang capek ataupun pelicin), misalnya saja mahasiswa yang merasa telah begitu banyak mengambil waktu si dosen untuk masalah skripsinya sehingga berinisiatif memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih ataupun mahasiswa yang memang sengaja memberikan “pelicin” tersebut karena sadar bahwa dirinya tidak kompeten. Beliau menambahkan bahwa jika sampai diketahui ada yang melakukan aksi-aksi tersebut maka akan ditindaklanjuti. Yakni bagi si dosen berupa hukuman dan bagi si mahasiswa maka dia tidak akan di uji.

Banyak yang merasa keberatan memang dengan kebiasaan-kebiasaan tersebut.But, untuk mendobraknya, siapa yang berani??Tampaknya benar kata-kata Andrea Hirata dalam salah satu buku tetralogi Laskar Pelangi yang berjudul Sang Pemimpi, dalam buku itu Andrea menyatakan bahwa “kebiasaan adalah racun”. Racun yang mematikan keberanian kita untuk melawan penyimpangan yang ada.Racun yang membuai kita dengan mimpi akan kesuksesan yang diukur dengan angka-angka hingga kita terlalu takut untuk menyerukan kata “lawan”. Amat disayangkan memang, di lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya jadi panutan, tempat insan-insan ditempah menjadi pendidik anak-anak bangsa kelak.Di universitas ini(mungkin juga di universitas lain) kita sudah di ajarkan/melihat dan bahkan ikut(dan terbiasa) melakukan sendiri praktek-praktek pembobrokan nilai-nilai yang seharusnya di miliki oleh orang yang di sebut-sebut sebagai Mahasiswa “The Agent of change”. Mungkin kita harus melihat pada diri sendiri sejauh mana kita menyikapi hal-hal tersebut. Ambil langkah aman dan membiarkan diri menjadi budak sistem-sistem yang ada atau meluruskan kembali jiwa mahasiswa yang melenceng jauh dari cita-cita luhurnya.

Share on Google Plus

About nebula

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar :

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com