“Bah, apanya maksud orang ini. Dari jam satu dini hari tadi sampe subuh ini, habis kami digembleng mati-matian, disuruh merangkak lah, cium tanah lah, buka sepatu lah. Ini malah kami disuruh duduk-duduk nyantai, sambil cerita-cerita.”
“Capek ya, Dek?” Perempuan perawakan lembut dengan jilbab hitam itu menyapa.
“Eeee, lumayan lah Kak.”
“Ups, jangan-jangan jawabanku salah. Jangan-jangan mereka cuma pura-pura baik. Padahal masih mau membantai.”
“Siapa namanya, dek?”
“Boots, Kak.” Ribi menjawab.
Kakak perawakan lembut dengan jilbab hitam malah tersenyum.
“Maksud Kakak nama aslinya.”
“Hah? Apa-apaan lagi ini? Tadi setiap ditanya nama dan kami menjawab sesuai dengan nama pemberian orang tua, pasti dihukum. Ini kok malah sebaliknya. Aneh.”
“Ribi, Kak.” Kaku menjawab.
“Teman sebelahnya?”
“Maza, Kak. Fia Mazayya lengkapnya.”
Seketika obrolan yang santai itu membawa kami pada satu muara alur berpikir. Mungkin memang iya, pada setiap langkah yang telah terpatri sedari tadi sebenarnya ada mozaik-mozaik abstrak yang maknanya sangat luar biasa bila dijelajahi dengan hati. Ini tentang kehidupan. Tentang bagaimana kehidupan menghidupimu sehingga kita akan benar-benar hidup. Lebih kompleks dari urusan kebersamaan, kecintaan, kedewasaan, kebencian.
Awalnya aku tak mengerti mengapa harus melangkahkan kaki di organisasi ini. Padahal di kampusku masih banyak organisasi lainnya. Bahkan, bila melihat karakterku yang lebih suka menikmati keindahan seni, baik itu menciptakan atau melakonkan. Tapi, dunia jurnalis ini kini pilihanku. Walau belum tahu, akan kemana arah ini bertuju. Sisakan saja sedikit kesempatan agar tangan Tuhan tetap berperan, itulah yang kuyakini kini.
***
Sore ini letih. Aku harus menyelesaikan segudang tugas dari dosen yang kupikir keparat itu. Belum lagi rangkaian tugas untuk membuat klipping artikel, ah, padahal artikel itu apa aku pun tak sungguh-sungguh tahu. Di sela-sela itu, aku masih harus dinas malam menjaga warnet sebagai salah satu cara agar dapat tetap bertahan hidup di kota metropolitan yang agak kejam. Maklumlah, aku cuma seorang perempuan keras kepala yang dengan egonya berani bertaruh dengan waktu untuk bertahan melanjutkan kuliah, walau orang tua menyatakan tak mampu membiayai segalanya.
Telefon genggamku mengalunkan lagu Firework milik Katy Perry. Tanda ada SMS masuk.
Za, bsk k sekret? Kerjain tugas barenk2
yok.
Lalu aku memilih menu reply.
Boleh.
See u 2morrow.
Entah melalui arah mata angin yang mana aku dan Ribi menjadi akrab, sebenarnya tak hanya kami berdua, tetapi dengan teman-teman yang lainnya. Ada sepuluh mahasiswa lain selain aku dan Ribi yang juga mendaftar. Entah atas dasar alasan apa. Pastinya karena mereka memang sudah tertarik di dunia jurnalis. Tapi aku? Jujur dasarku tak berdasar. Tak pernah terpikir olehku menjadi penulis. Apalagi jurnalis yang kerjanya seperti orang tak puya kerjaan. Selalu ingin tahu setiap kejadian, jurnalis terkesan seperti orang yang selalu ingin mencampuri urusan orang lain saja. Dimana ada kejadian disitu ada jurnalis. Tanya sana-sini seolah-olah dia punya kepentingan dengan masalah tersebut (walaupun memang mereka punya kepentingan, kepentingan tugas yang berarti kepentingan pekerjaan. Yang berarti pula kepentingan kelangsungan hidup mereka sebab dari sikap sok punya kepentingan itulah mereka mendapat gaji). Profesi jurnalis adalah profesi yang tak pernah masuk dalam daftar cita-citaku waktu kecil. Itu karena dulu saat masih sekolah dasar guru bahasa Indonesiaku mengajarkan tentang idiom, frase, dan kata majemuk. Aku lupa kuli tinta termasuk dalam contoh yang mana, frase, kata majemuk atau idiom. Yang aku amat sangat ingat kuli tinta adalah salah satu contoh yang beliau sebutkan. Kuli tinta yang merupakan kata lain dari jurnalis atau wartawan. Otak kecilku dulu tak menyukai kata “kuli” dalam kata kuli tinta. Kuli dalam pemahamanku adalah sebuah pekerjaan yang payah. Rendahan dan menggambarkan hidup yang keras. Sama halnya dengan kuli bangunan. Ayahku seorang kuli bangunan dan aku sering menyaksikan betapa pekerjaannya amatlah berat. Terpanggang terik matahari sambil terus mengecor semen. Mengangkat batu-bata dalam jumlah banyak. Mengangkat tiang-tiang papan dan semen untuk pondasi rumah. Tiap hari ayah makan dengan bau semen yang masih melekat di tangannya dan tercium olehku. Menjadi kuli bangunan bukanlah hal yang mengenakkan. Resiko kecelakaan yang tinggi serta upah yang tak sebanding untuk menghidupi keluarga kami yang terdiri dari tuju orang, sungguh membuatku tak simpati dengan kata kuli. Bagiku, menjadi kuli, kuli apapun itu akan sama dengan kuli bangunan. Sungguh bukan pekerjaan idaman. Jadi aku mem-blacklist dari daftar cita-citaku semua profesi yang ada kata kuli di dalamnya. Maka ketika guruku mengucapkan kalimat :
“Hayoo.. siapa di antara kalian yang bercita-cita menjadi kuli tinta?”
Aku salah satu dari beberapa siswa yang tidak mengangkat tangan.
Lagi-lagi suara Katy Perry memenuhi ruangan kosku yang sumpek dan panas.
Za, hiks..hiks..!
Dahiku berkerut membaca SMS Meta, kawan yang juga kukenal bersebab keikutsertaanku dalam organisasi kampus dengan visi misi menghasilkan generasi penerus para kuli tinta. Aku belum kenal dekat dengan sepuluh orang lainnya selain Ribi. Itu juga karena saat orientasi alam kemarin aku satu tim dengan Ribi. Sejak itu kami banyak bercerita. Mimpi-mimpi kami, dan pastinya kesulitan-kesulitan dalam menggapai mimpi itu. Ribi orang yang asik. Ia terbuka dan memiliki ide-ide liar yang membuatku ingin mewujudkannya. Ribi sendiri merasa ia kurang punya keberanian mewujudkan ide-idenya seorang diri. Dan ia menganggap aku adalah orang yang tepat untuk mewujudkan ambisi-ambisi liarnya. Sebab menurutnya aku nekat dan sedikit gila serta selalu tergoda melakukan hal-hal gila yang kami sebut penaklukkan. Kami baru kenal tiga minggu yang lalu saat orientasi kampus. Salah satu ritual wajib yang harus kami ikuti jika ingin masuk ke Mata Pena, organisasi pencetak generasi penerus kuli tinta. Tiga minggu dengan kegilaan-kegilaan yang tak terhitung. Ngerjain senior Mata Pena dengan pura-pura kerasukan roh gentayangan di sekitar sekretariat, sengaja datang telat empat jam saat hendak berangkat ke orientasi alam. Naik di atas bus saat berangkat orientasi alam ke Sibolangit yang membuat senior mencak-mencak. Pura-pura tersesat saat rombongan mandi di Sungai Sibolangit. Para kru Mata Pena sibuk menyusuri jalan dengan pepohonan dan ilalang tinggi dengan wajah was-was. Padahal kami asik mandi di aliran hilir sungai di tempat mereka mandi. Dan kegilaan-kegilaan lainnya di luar dan di dalam Mata Pena.
Aku tersentak dengan Firework-nya Katy Perry lagi. Kali ini dari Ribi
Za, si Meta kok ngirim SMS aneh sama aq?
Kamu dpt SMS dr Meta jg gak?
Pikiranku tertuju ke Meta. Aku memang belum dekat dengan sepuluh orang lainnya termasuk Meta. Dekat dalam artian mengetahui latarbelakang keluarga dan kehidupan pribadi mereka. Namun kami cukup akrab berdua-belas dan sering berkumpul bersama untuk mendiskusikan tugas-tugas dari Mata Pena. Sepengetahuanku, Meta adalah satu-satunya anggota yang paling terlihat dewasa dan kalem dalam bersikap. Ucapannya selalu penuh wejangan dan ngemong. Tapi kenapa barusan ia mengirim SMS berbunyi seperti itu ya?
Tombol option+replay kupencet setelah sejenak bertanya pada senyap.
Kenapa Ta?
Pesan terkirim. Semenit. Dua menit. Lima menit. Sepuluh menit. Tak juga kudengar Katy Perry berdendang. Aku tak lagi konsen mengerjakan tugas akuntasi keuangan yang harus kukumpul esok. Ah, angka-angka yang harusnya kujumlah atau kukurang berantakan semua. Beterbangan bak dedaunan di hempas angin. Anjrit… ayolah otak! Konsentrasilah, tugas ini harus selesai sebab selepas maghrib aku harus sudah duduk manis di depan komputer billing warnet di simpang kosku.
Lagu Katy Perry. Cepat kuraih handphone nokia N70 yang sudah tak ada keluaran barunya. Handphone yang cashingnya pecah di bagian layarnya.
Kayaknya gitu. Qt samperin yok! Aq tanyain
drtd gak dbls.
Sedikit kecewa aku karena ternyata bukan SMS dari Meta melainkan Ribi. Samperin? Mataku langsung tertuju ke jam kecil yang jarum detiknya telah terlepas. Jam lima soreh. Jam tujuh malam aku harus standby di warnet. Tak akan cukup waktu dua jam untuk bertandang ke kos Meta. Anak itu kan kos di daerah Padang Bulan, katanya sih biar ngerasain beratnya perjuangan menuntut ilmu. Jam-jam sore gini pasti macetnya minta ampun. Belum lagi aku harus mandi dan ini itu.
Gmn Za?
SMS Ribi membuatku dilema. Di satu sisi aku bukan kawan yang masa bodoh dengan masalah yang dihadapi orang yang sudah kuanggap kawan. Di sisi lain aku juga tak bisa meninggalkan pekerjaanku. Satu-satunya tumpuanku untuk tetap bertahan di kota Medan keparat ini. Kota dengan segala kemacetannya. Dengan segala kepenatan dan masa bodohnya. Tapi sekali lagi aku bukan orang yang suka masa bodoh dengan sinyal SOS dari kawan-kawanku.
Za!
Belum sempat aku membalas SMS Ribi, satu SMS masuk lagi ke inbox ku.
Jika hidup hanya melahirkan nestapa,
bolehkah kupilih tombol off?!
SMS Meta. Kepalaku pusing tiba-tiba.
Bersambung ....
DUA PULUH : KITA adalah karya kolaborasi antara Diah Siregar dan Rinda Dinamita.
0 komentar :
Posting Komentar
komentar yg membangun yach..