Perjalanan. Selalu ada
yang menarik dari sebuah kata bernama ‘perjalanan’. Sesuatu yang asik dan
penting untuk disimak. Sesuatu yang dapat dijadikan pelajaran dan bekal untuk
meneruskan perjalanan selanjutnya. Pengalaman ini sebenarnya memalukan untuk
dikisahkan. Tapi tak dapat dipungkiri, pengalaman ini merupakan salah satu
momen penting dalam hidupku. Momen yang memiliki andil, akan menjadi pribadi
yang bagaimana aku ke depannya. Ini kisah tentang salah satu pengalamanku pertama
kali backpacker-an ke luar Sumatera
Utara (Jawa-Bali) pada Juli-Agustus 2011 silam bersama tiga sahabatku (Ulan,
Nova, Lina). Ada
banyak pengalaman inspiratif yang membuat hatiku lebih kaya dari sebelumnya.
Ini salah satunya :
................
v
Baiklah
cikgu. (23 Nov’10 01:45)
Ø
Jgn
cikgu ah..! (23 Nop ’10 01:50)
v
Apakah
ini salah satu mata kuliah Mengenal Cinta yg hrs aku pelajari. Tak boleh bolos
atau izin tdk masuk ruang kampus ya guru? (26 Nov’10 20:24)
Ø
Trlalu
dini mnyebutq guru.. Pljaran cinta?Aq
justru brpkir untk mlupakannya,sbab q rasa itu hnya bgian dr gurauanmu.. J (26 Nop ’10 20:50)
v
Tiada
manusia yg sempurna. Jika ia kencang berlari, blm tentu ia tangkas berenang.
Begitu jg aku. Jika aku piawai mengolah kata, tp aku dungu mengungkap rasa. Tak
bolehkah aku belajar menyandarkan kepala pd gadis sderhana? (26 Nov’10 21:24)
…….
“Aku
belum pantas disebut guru”
“Setiap
orang adalah guru bagi orang lain. Tidak terbatas oleh apapun. Umur, jenis
kelamin, strata sosial, agama atau yang lainnya. Bahkan, anak kecil pun bisa
menjadi guru bagi kita yang mengaku telah dewasa ini”
Kalimat di atas adalah SMS
dan obrolanku dengan seorang pria yang pernah mengisi hatiku dengan rindu
(eheemm… curhat nih ye..). Memang ini bukan cerita tentang percintaan dua orang
insan yang sedang kasmaran. Namun, saat melihat sosok kecil di samping tempat
dudukku di pesawat, sontak aku teringat kalimat-kalimat di atas. Ia, bocah pria
yang belum lulus Sekolah Dasar itu, ia tak melakukan apa-apa. Mengajakku
ngobrol pun tidak. Tapi ia membuatku terkesima saat kurasakan roda-roda pesawat
mulai bergerak.
Aku sedikit gugup.
Maklum, ini pertama kalinya aku (dan juga ketiga temanku) naik pesawat guys. Medan-Surabaya. Kurang lebih tiga
jam tanpa transit. Tiga jam di angkasa. Tiga jam yang sepertinya akan sangat
menakutkan. Euphoria backpacker-an ke
luar Sumut setelah beberapa bulan menabung dan beberapa tahun mendambakannya
kini berubah menjadi parno. Berbagai rasa berkecamuk. Entah kenapa jadi ingat
orang-orang tersayang. Ingat mamak yang rambut putihnya mulai banyak. Ingat
ayah dan penyakit yang dideritanya. Ingat abangku yang agak susah diatur. Ingat
jumlah hutangku pada beberapa kawan. Ingat berita tentang pesawat yang jatuh,
tak ditemukan dan seluruh penumpang serta awak pesawatnya meninggal. Dan… ingat
Tuhan! Wew.. tambah gugup aku mengingat dua hal terakhir. Sumpaaah… aku jadi parno!! Yang tadinya
seneng-seneng karena bakal ngerasain gimana naik pesawat berganti jadi
ketakutan yang sulit diungkapkan. Pengen berdo’a tapi malu ama sekeliling.
Padahal nih tangan udah kedutan pengen menengadah. Tapi kok ya nggak ada orang
yang kulihat sedang berdo’a dengan tangan menengadah. Berdo’a dalam hati aja
ah. Tapi, kok kayaknya malu juga ya. Kali ini malunya sama Tuhan. Sholat aja
jarang kok gaya-gaya’an mo berdo’a. Memang sih, aku terbiasa berdo’a walau
jarang sholat. Tapi saat ini entah kenapa aku kok malu ya. Beneran! Kesannya
kayak yang dibilang ustadz-ustadz waktu lagi ceramah : manusia itu banyak
piciknya. Saat senang lupa sama Tuhan, saat susah dan terdesak barulah
meraung-raung minta pertolongan Tuhan. Nah, walaupun aku masih ingat Tuhan saat
senang, tetap saja aku jarang sholat. Intinya satu : aku jarang sholat dan
sekarang aku malu mau berdo’a sama Tuhan. Secara katanya sholat itu tiang agama.
Misalnya nih (pengandaian seadanya dari seorang berpengetahuan agama yang
sangat kurang. Mohon dimaklumi jika kurang pas ^_^) Tuhan ada di atas atau di
langit atau dimana aja deh, yang penting menunjukkan tempat yang jauh lebih
tinggi dari tempat kita. Nah, tiang itulah yang kita perlukan untuk dapat
membantu kita agar dapat mencapai tempat yang tinggi itu. Buat aku yang jarang
sholat ini, gimana bisa ke tempat terdekat dengan Tuhan kalau tiangnya aja
nggak ada.
So, diantara rasa
gugupku aku mencoba untuk tetap bersikap biasa saja meski Nova yang duduk di
sebelahku panik dengan terus-terusan melafalkan ‘Tuhan Yesus’ (sepertinya kami
kena syndrome pertama kali naik
pesawat dan dihantui berita-berita kecelakaan pesawat yang sering kami lihat di
tv).
Aku senyam-senyum saja
meski gugup. Kuperhatikan sekeliling. Orang-orang terlihat biasa saja, kenapa
aku harus takut. Stay cool Diah!! Aku
menenangkan diri meski tak dapat kupungkiri aku masih saja was-was. Tetap
teringat Tuhan. Ketakutanku kini bukan lagi karena pesawat akan terbang beratus
bahkan beribu-ribu kaki dari bumi. Ini lebih pada ketakutan akan diri. Akan
Tuhan. Hmm.. aku seperti kembali ke masa kanak-kanak yang ketakutan dengan
sesuatu bernama ‘dosa’. Ketakutan yang muncul oleh gertakan para orangtua dan
ustadz saat aku rewel. Ah Tuhan, kenapa kau men-Tuhan-iku (tak mungkin kukatakan
menghantuiku ;p)? Kenapa aku jadi resah? Bukankah seharusnya aku justru nyaman
dengan mengingat-Mu?
Kembali kupandangi
sekeliling. Orang-orang yang bercakap-cakap, bersalaman, membaca buku, tidur,
memandang keluar dan... seorang bocah pria di sampingku yang tengah
menengadahkan tangannya. Wew, tampaknya ia sedang berdo’a. Khusyuk ia
memenjamkan mata dengan mulut komat-kamit. Tak lama kemudian tangannya ia
usapkan ke wajah. Hah, aku yakin dengan sangat ia baru saja berdo’a. Dan … IA
BERDO’A DENGAN MENENGADAHKAN TANGANNYA!! Hffpp… aku terhenyak beberapa saat.
Ini anak tanpa malu-malu
berdo’a. Nggak peduli orang-orang di sekelilingnya sedang melakukan apa. Nggak
peduli ada orang yang berdo’a dengan menengadahkan tangan atau nggak. Hmm…
lagi-lagi aku dilanda malu. Kali ini malu pada diri sendiri. Kenapa aku sebodoh
ini? Berdo’a adalah masalah Tuhan dengan si pendo’a. Tak ada larangan bagi
siapapun untuk berdo’a bagaimanapun caranya. Seberapa besar dosa si pendo’a.
Selagi ia tulus, Tuhan pasti menerima. Lagi pula, Nova saja santai berdo’a
dengan kedua tangannya saling menggenngam dan ia rapatkan ke dada. Kenapa aku
harus malu menengadahkan tangan? Ya Allah, ampuni hambamu.
Pesawat kian terbang
tinggi. Miring ke salah satu sisi. Bangunan-bangunan terlihat kian mengecil.
Kian jauh. Di antara kalimat-kalimat Nova menyebut nama Yesus kala pesawat
mengalami sedikit goncangan, aku tersenyum seraya melihat bocah pria kecil di
sampingku. Ketakutanku mereda. Terimakasih untuk pria yang pernah mengatakan
padaku bahwa tiap orang bahkan anak kecil adalah guru bagi orang lain. Umur
memang bukan jaminan seseorang bijak dalam bersikap dan bertindak. Terkadang
kita memang perlu menjadi anak-anak dalam memaknai hidup. Seperti ketika
mengungkapkan rasa. Anak-anak selalu tulus. Mereka tak pernah berbohong ketika
merasa menyukai sesuatu. Ia dengan jujur mengungkapkannya. Tak pernah malu
untuk menunjukkan rasa sukanya. Tak takut kelihatan bodoh saat mengkhawatirkan
yang ia sukai. Kenapa aku yang mengaku dewasa harus malu terhadap sesuatu yang
jelas-jelas bukan sebuah kesalahan? Perihal aku jarang sholat memang sebuah
kesalahan dan pantas malu. Tapi berdo’a bukanlah sebuah kesalahan.
“Tuhan Yesus lindungi kami”
kembali kudengar Nova berucap.
Pesawat terbang stabil.
Sesekali kurasakan sedikit bergoncang. Aku tersenyum memandang ke luar jendela
pesawat. Perjalanan backpacker-an
kali ini barulah awal. Satu pelajaran penting telah kudapatkan. Guys, jangan pernah malu untuk berdo’a,
dan jangan pernah malu untuk berguru pada siapapun, termasuk anak kecil :).
***
November
2011
0 komentar :
Posting Komentar
komentar yg membangun yach..