BERCERITA PADA BINTANG



Sudah satu jam, tapi hujan belum juga redah sore ini. Tak begitu deras memang. Namun dinginnya cukup menusuk. Cukup menyayat sekeping hati yang terduduk di pojok teras rumah sederhana itu. Matanya memandang butir-butir hujan yang tiada putus. Hatinya berdialog.
“Kenapa kalian menangis? Sudahlah jangan terlalu berlebihan, aku masih kuat kok. Lihatlah aku masih bisa tersenyum!”ucapnya pada butir hujan.
“Ah kami tidak berlebihan. Kami juga tidak menagis, justru sebaliknya. Kami bangga padamu. Kau begitu kuat. Salut!”
“Terima kasih”
“Ya”
“Oya..bagaimana kabar kekasihku? Apakah dia baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja. Dia berpesan agar kau jangan menyerah”
“Aku tidak akan menyerah. Aku akan terus bertahan”
“Bagus”
Hujan tersenyum pedih. Begitu juga sekeping hati yang masih saja terduduk. Seketika hening. Hanya gemericik kaki hujan yang berlomba menyentuh bumi.
Dua pasang mata bersembunyi di balik jendela kaca rumah itu. Memandang lekat-lekat pada sekeping hati yang terduduk di pojok rumah. Sepasang mata pertama adalah milik seorang wanita setengah baya. Mata itu berair. Ada gurat kepedihan di wajahnya. Mata yang sepasang lagi adalah milik pria yang juga setengah baya. Ia tampak tegar, namun tetap saja rona duka tergambar di wajahnya.
“Apalagi yang harus kita lakukan pak?”wanita itu bertanya dengan nada hampir putus asa.
Yang ditanya tak menjawab. Hanya menghela nafas. Nelangsa.
“Kalau saja dulu kita tak melarangnya!” wanita itu berkata lagi di barengi setetes hujan dari matanya. Ada sesal yang menyeruak di hatinya. Sesal yang dianggapnya sebagai akibat dari kebodohannya di masa lalu.
“Kau kenal pemilik dua pasang mata di balik jendela itu?” hujan kembali membuka percakapan
“Tentu saja, mereka orang tuaku” jawab sepotong hati
“Kelihatannya mereka amat sedih dan amat menyayangimu”
“Ah..omong kosong”
“Kenapa kau berkata begitu?”
“Buktinya mereka tega melarangku untuk bertemu dengan kekasihku?”
“Tapi mereka punya alasan sendiri mengapa melakukan itu. Mereka menyayangimu”
“Kau membela mereka!?” sepasang hati berkata dengan emosi
“Tidak juga. Tapi…aku kasihan pada mereka” usai berkata begitu hujan diam. Sekeping hati juga diam. Ia merajuk pada hujan yang hari ini tak berpihak padanya.
“Zian masuk yuk! Sudah hampir maghrib nak!” wanita setengah baya itu berkata sambil mengelus-elus rambut pemilik sekeping hati. Anak semata wayangnya.
“Zian masih ingin disini bu!”
“Tapi zian kan belum mandi. Sebentar lagi makan malam. Ibu sudah menyiapkan sup kesukaanmu”
Zian bangkit. Yang ia pangil ibu itu membimbingnya untuk berjalan ke kamar mandi. Namun ziah malah masuk ke kamarnya dan tak menghiraukan bujuk rayu ibunya. Wanita itu terenyuh melihat anaknya duduk di depan jendela dengan tatapan kosong memandang keluar.
*
Malam kian tinggi namun Zian masih duduk di depan jendela kamarnya
“Kenapa belum beranjak?” tanya bintang
“Aku masih menunggu kekasihku. Ia janji akan menjemputku malam ini”
“Tapi inikan sudah tengah malam, tidurlah! Angin malam tak baik untukmu”
“Tidak! Aku kan kuat! Aku akan tetap disini  sampai ia datang”
Zian beringsut kearah lemarinya. Mengambil botol plastik kecil berisi butiran-butiran kecil yang ia letakkan di samping photo kekasihnya yang juga ikut ia ambil. Ia kembali duduk di depan jendela. Membuka tutup botol plastik kecil itu dan mengeluarkan isinya lalu bersiap-siap hendak menelannya.
“Hey..apa yang hendak kau lakukan?!”
“Ini ramuan agar aku bisa bersama kekasihku”
“Ini konyol! Jangan gila kau! Apa kau tidak mencintai orang tuamu?” bintang mencoba membatalkan niat Zian.
“Aku mencintai mereka. Tapi mereka begitu tega memisahkan ku dari kekasihku. Mereka sengaja berbohong dengan mengatakan pada kekasihku bahwa aku pindah kuliah ke Jakarta dan telah dijodohkan di sana. Padahal waktu itu aku hanya berlibur di rumah nenekku di sebuah desa kecil di Kisaran. Karena tak ingin berpisah denganku esoknya kekasihku berangkat ke Jakarta hendak menyusulku. Aku tak tahu menahu. Yang aku tahu dari TV dan surat kabar bahawa ada pesawat jatuh di daerah Padang Bulan. Sejak itu ia tak pernah menemui aku lagi” Zian bercerita panjang lebar. Wajahnya basah oleh air mata. Namun seketika ia tersenyum lagi dan berkata :
“Tapi sebentar lagi kami akan bertemu dan tak terpisahkan lagi”
“Usai berkata begitu Zian langsung menelan puluhan butir benda yang ia sebut ramuan tadi.
“Jangan lakukan itu!!!” bintang memekik
Namun terlambat. Semuanya telah terjadi. Teriakan bintang terbawa angin sebelum sampai di dengar oleh Zian.
Zian merasakan kepalanya berat. Namun ia tetap tersenyum seraya memandang photo kekasihnya yang masih ia pegang. Dalam pandangannya yang kian mengabur ia melihat kekasihnya tersenyum dan mendekatinya. Lalu gelap. Pekat.
“Aku kuat!” gumamnya. Dan hening.
Bintang-bintang tertunduk.
***

Medan 24 Maret 2008
NB : cerpen ini dimuat di Medan Bisnis, 2008
Share on Google Plus

About nebula

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com