ah hujan, embunnya sampai juga di mataku.
entah terbuat dari apa hujan ini. lama-lama aku curiga, ia
sebenarnya punya
jiwa. buktinya, ia selalu bisa membuka jendela kenangan di
hatiku. Menyeretku dalam atmosfir kenangan yang mengharu biru. Romantisme masa-masa
indah bersama yang terkasih. Keceriaan masa kecil bersama para sahabat, tentang
hangatnya pelukan ibu dan genggaman tangan ayah yang menguatkan, orang-orang
yang pernah sangat dekat dan masih dekat hingga kini, hanya raganya yang
mungkin tak lagi bisa terengkuh.
Hujan, ia begitu dekat, juga begitu jauh. Nyaris sama
seperti orang-orang terdekat yang telah pergi. Yang raganya tak lagi bisa
terlihat, namun jiwanya masih. Ia seperti sebuah kerinduan, kehilangan, luka,
tawa, impian, dan tangis.
Aku curiga, mungkin sebenarnya hujan punya jiwa. Atau mungkin,
hujan adalah jelmaan jiwa-jiwa mereka yang merindu, yang mencinta, juga
jiwa-jiwa mereka yang raganya tak lagi ada.
Rumah Nebula, Hujan di hari keempat bulan Maret.
Dalam balutan rindu, padamu, Ayah.
ehheheee... thank you, masih belajar kok :)
BalasHapus