Pagi tadi seorang sahabat menelpon cukup lama. Hampir satu
jam.kami berbincang banyak hal. Dulu, saat ia masih di Medan dan aku belum
mencapai tarap finansial seperti ini, ia sering datang ke kos. Ia yang kala itu
juga memiliki kehidupan finansial yang sama denganku, sering bertandang dengan
kondisi perut kosong (belum makan maksudnya hehheee…). Aku yang juga tak
memiliki apa-apa, hanya bisa memberi apa yang ada saja. Terkadang, jika ada
roti pemberian seorang kawan yang bekerja di toko roti, aku berbagi dengannya. Alhasil,
roti yang sebelumnya sudah kutaksir bisa bertahan untuk menopang hidup dalam
beberapa hari, bisa ludes hari itu juga hahhaaaa… tak apalah, yang penting hati
senang dan tawa kami tak lenyap gara-gara lapar (kan udah diganjal roti hehe.. )
walopun konsekuensinya rotiku habis dan hari esok terancam, dia masih sedikit
beruntung karena tinggal dengan ortu, jadi makan tak terancam. Tapi aku
percaya, berbagi tak akan membuat kadar kemiskinanku bertambah J
Selain berbagi roti, jika ada sedikit uang, kami biasanya
beli nasi bungkus patungan. Alasannya sih karena nasi bungkus nasinya terlalu
banyak, takut tidak habis, kan mubajir. Padahal karena nggak punya duit xixiiii…
Tapi, dari semua itu, paling sering sih aku hanya memberi
air putih dan sedikit senyum untuknya hehhee… mau gimana lagi, temanku yang
bekerja di toko roti tak mungkin tiap hari memberi roti. Uang kami pun tak
selalu ada untuk beli nasi sebungkus berdua. Air putih lah yang ada, ditambah
sedikit senyum pastinya J
Biasanya kami berbincang banyak hal. Masalah-masalah kami,
masalah-masalah teman-teman kami (percaya nggak percaya, kami sering berpikir
bagaimana agar teman-teman kami bisa hidup lebih baik lagi. Ya, kami cukup
perhatian dengan kehidupan teman-teman kami yang lain. Walaupun kami tak
mengungkapkannya pada mereka dan kehidupan kami sendiri juga memerlukan
perhatian).
Kami juga sering berbincang tentang mimpi-mimpi kami ke
depan. Saling menyemangati dan menguatkan (tapi juga sering saling mengejek
:D). kalimat-kalimat seperti ini sering muncul dari mulut kami :
“Setahun ke depan kita jadi apa ya?”
“Inget-inget deh, dua tahun ke depan dari hari ini kita jadi
apa ya?”
“Yang pasti setahun ke depan aku udah bisa nraktir kau makan
hahhaa…”
“Setahun ke depan aku nggak mau lagi berbagi roti amamu,
beli sendiri lah, kan kita udah kaya nanti hahahaa..”
“Dua tahun kedepan aku udah punya stang bundar, amin!”
“Setahun ke depan kita udah bisa jalan-jalan mengunjungi
tempat-tempat indah di Indonesia, kan kita udah jadi pengusaha sukses hehee..”
Dan kalimat-kalimat sejenisnya yang bernada terlalu pede
hehheee..
Sekarang, setelah lebih setahun, pagi ini kami kembali
memperbincangkannya. Masih dengan penuh tawa tentunya. Kini ia sudah bekerja
sebagai wartawan di harian nasional dan bertugas di Jakarta. Sedang aku juga
sebagai wartawan di sebuah majalah Travelling di kota Medan. Alhamdulillah,
kehidupan finansial kami tak sememprihatinkan dulu (ya walapun juga belum bisa
beli stang bundar ^_^).
Kami tidak berbagi roti lagi, bukan karena tidak mau, tapi
karena jarak yang tak memungkinkan. Kami sudah membeli tiket untuk liburan
bersama (walaupun masih belum tau bisa pergi bersama ata tidak karena pekerjaan
masing-masing). Yang jelas, desember nanti kala ia kembali ke Medan, kurasa aku
masih ingin menikmati nasi sebungkus berdua dengannya. Atau mentraktirnya
ngopi-ngopi (tentunya aku juga akan minta traktirannya, kan aku juga pengen
ngerasain jerih paya ya hehhee…)
Setahun ke depan, kami jadi apa ya J
0 komentar :
Posting Komentar
komentar yg membangun yach..