Cerpenku kali ini dimuat di harian Analisa edisi Rabu 12 September 2012. silahkan dibaca en jangan lupa komentarnya ya guys... ^_-
Moga
bahagia selalu menyelimutimu. Selamat hari lahir.. *peluk cium
Kirim.
Seketika gugup
menyergap. Seperti tersadar dari lamunan, buru-buru tangannya memencet
sembarang tombol di handphone-nya.
Terlambat.
Pesan terkirim :
Rindu
Ah. Gadis, nama
perempuan itu, mendesah risau. Letikan sesal menyeruap begitu saja dalam
hatinya. Kenapa ia harus mengirim pesan bodoh itu.
Untuk kesekian
kalinya Gadis menarik napas.
“Sudah kepalang
basah, lanjutkan sajalah,” bisik hatinya. Jemarinya pun lihai merangkai huruf.
Mau
kado apa?!
Deg!!
Tiba-tiba sesak.
Balasan singkat itu sukses membuatnya terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya kembali
mengetik kata demi kata di layar handphone-nya.
Kalau
begitu kau sudah mendapatkannya. Tak perlu menunggu ulang tahun untuk meminta
itu.
Belum sampai?
Benarkah? Gadis tersenyum perih. Tiap saat hatinya melantunkan rindu, meski
memang ia akui, tak pernah sekalipun ia kirimkan rindunya lewat sang bayu ataupun
dalam dzikir do’a. Tak pernah. Ia lebih suka menikmati sendiri rindunya dengan
sesekali ditemani airmata.
Kembali Gadis
mengetik. Kali ini lebih lama. Tampaknya lebih panjang dari sebelumnya.
Sesekali jemarinya menekan tombol delete.
Namun kemudian menulis kembali kata-kata yang telah dihapusnya itu. Dibacanya
ulang barisan kata yang ia rangkai. Memastikan semuanya sudah mewakili
perasaannya. Setelah yakin, dipilihnya pilihan kirim.
Rindu
berpita merah jambu ini memang untukmu. Tapi aku terlalu pecundang tuk
mengirimnya. Takut menerima kenyataan kalau kau mengabaikannya. Bukankah aku
kalah waktu dengan rindu yg lain? Mgkn kalau kau menjemputnya ,ia akan sedikit
percaya diri tuk meluahkannya.
Pesan terkirim :
Rindu
Malam kian
tinggi. Sepi merayap. Detak-detak jarum jam terdengar jelas. Memberi kesan sepi
yang dalam. Sepi yang amat beku. Sebeku malam-malam sebelumnya.
Detik-detik
selanjutnya ia habiskan dengan memandangi handphone-nya
lekat-lekat. Sesekali ia tersadar dan mengalihkan pandang. Namun detik
selanjutnya kembali ia pandangi benda itu.
Tiga puluh menit
berlalu sejak pesan terakhir yang ia kirim. Tak jua handphone-nya berdering. Dibacanya kembali pesan terakhirnya,
mungkinkah ia salah berucap. Gadis menggeleng sendiri.
Rindu bukanlah
nama pria itu. Namun Gadis menamainya Rindu. Pria itu tak pernah tahu mendapat
nama baru darinya. Gadis pun tak pernah berniat memberitahu. Setidaknya dua
bulan ini. Dulu Gadis selalu jujur melisankan rindunya. Ia sering menuntut sua
meski hari-hari kerap mereka lewati bersama. Itu karena memang rindunya tak
terbantahkan. Rindu yang membuatnya selalu ingin bersama pria itu. Namun sejak
Gadis tahu, ada gadis lain yang merindui Rindunya. Gadis lain yang ternyata
telah merindui Rindunya jauh sebelum ia hadir dalam kehidupan pria itu. Gadis
memilih diam seribu bahasa. Tak pernah lagi ia melisankan rindu atau lisan
apapun. Ia bungkam. Sikapnya sebeku bongkahan es kutub. Pun lakunya. Saat itu
juga dilayangkannya surat pengunduran diri dari tempat kerjanya, tempat yang
mempertemukan mereka dan menjebak mereka dalam kebersamaan.
Sekali waktu,
untuk pertama kali sejak ia mengundurkan diri, Rindu menyambangi rumahnya.
Menanyakan perihal keputusannya yang tiba-tiba. Ada gurat marah dalam tatapan
dan ucapan Rindu. Gadis hanya diam. Menyembunyikan letikan bara luka dan emosi
yang membuncah di palung hatinya.
“Gadisku,
bicaralah,” ucap Rindu, lirih ditingkahi angin yang sesekali melintas.
“Aku hanya
sedang ingin menikmati kesendirian,” pendek Gadis berucap. Datar.
“Menikmati
kesendirian?!” nada bicara Rindu naik satu oktaf. Sangat kentara hatinya sedang
galau.
“Setelah selama
ini kita menjalani hari bersama, sekarang kau katakan ingin menikmati
kesendirian?? Omong kosong apa ini?” kali ini suaranya terkesan protes dan
putus asa. Gadis hanya bergeming. Memandang mawar di teras rumahnya yang
sebagian kelopaknya serupa warna tanah.
“Maukah kau
berjanji?” ucap Gadis kala Rindu hendak melangkah pergi.
“Apa?”
“Berjanjilah
jangan pernah datang lagi,” ucap Gadis seraya memandang gemintang. Ia tak
berani menatap Rindu, takut ketegarannya runtuh.
“Gadisku, tega
nian kau membuatku berkubang duka. Maaf, aku tak bisa berjanji.”
“Tolong
berjanjilah. Aku terganggu jika kau ada.”
Mata Gadis
berkaca-kaca, cahaya luka. Pun Rindu. Dua pasang bola mata itu seperti serpihan
gelas kaca pecah dan tertimpa sinar rembulan. Bersinar, namun luka.
“Aku selalu
ingin bersama gadis yang kucintai. Tapi apalagi yang bisa kulakukan jika
Gadisku justru terganggu ketika aku di sisinya.”
“Lelakiku,
Rinduku. Kau pastilah tau, ada rindu lain yang tak berhak kita abaikan. Rindu
yang teramat suci untuk disakiti. Aku tak mau kita dilaknat cinta karena
menabur luka pada rindu itu.” Gadis berucap lirih di antara letusan magma luka
di hatinya. Ucapan yang tak didengar rindunya yang tlah melangkah pergi dengan
gontai.
*
Gadis menghujani
handphone-nya dengan tatapan harap
dan rasa yang aneh. Ia menyesal telah kalah oleh rindu. Ketegaran memang
sering runtuh oleh rindu. Keteguhannya untuk tak lagi bersinggungan dengan
rindunya luruh begitu saja beberapa menit yang lalu kala detak jarum jam
menunjukkan bilangan tanggal lahir Rindunya. Dirinya pun tak sebenar-benarnya
mengingat tanggal itu. Hanya ketika penglihatannya mengarah pada jam kecil
pemberian Rindunya di atas meja di samping tempat tidurnya, ia tersentak,
seperti tersadar akan sesuatu hal : hari lahir Rindunya. Dan refleks ia
mengirim sms tersebut.
Malam merangkak
tinggi. Embun-embun turun. Gadis menarik selimutnya namun masih belum
sepenuhnya rela untuk menutup malam ini. Ia masih menunggu handphone-nya dan memunculkan satu nama di layarnya : Rindu. Ia
tertidur dengan posisi miring, dengan handphone
di hadapannya.
*
Dua malam sejak malam
itu. Gadis terdiam di teras rumahnya. Kosong menatap dedaun yang khusyuk dalam
tunduknya. Pandangannya kosong. Sekosong hatinya saat ini.
“Kenapa
tiba-tiba kau datang?”
“Menjemput rindu
berpita merah jambu.”
“Bukankah aku
memintamu berjanji untuk tak datang lagi?” berat Gadis membalas. Hatinya
kosong. Rindunya berada hanya beberapa senti darinya namun rasanya bergeming.
Jika hari-hari lalu ia sangat merindukan Rindunya, malam ini ia justru tak
mengerti perasaannya. Hanya kosong. Hampa.
“Maaf jika mengganggumu.
Tapi sungguh, rindu ini tak terbantahkan.”
Gadis beku. Satu
sisi hatinya membenarkan ucapan Rindu. Tapi sisi hatinya yang lain sebagai
seorang wanita, tak tega ia untuk menghadirkan tangis di pipi gadis lain.
Pergolakan batin itulah yang terus-terusan merongrong jiwa dan pikiran Gadis.
Pergolakan batin yang melahirkan perasaan kosong di hatinya malam ini.
“Dis.”
“Hmm.”
“Aku masih belum
mengerti, kenapa kau memilih sendiri sedangkan kau tau pasti, aku ingin
menemani harimu?”
“Aku sendiri
karena aku tau sendiri adalah pilihan terbaik untukku saat ini. Kenapa itu pun
tak bisa kau mengerti?”
“Benarkah? Lalu,
apa arti pesan tadi malam? Jelas sekali pesanmu menunjukkan kalau kau tidak
ingin sendiri. Apa tadi malam kau sedang bercanda?”
“Ya, aku sedang
bercanda, kenapa kau begitu serius menanggapinya?”
“Kenapa? Kenapa
kau bercanda sementara kau tau aku serius? Kenapa Dis?”
“Karena…”
kata-kata seperti memuai. Gadis linglung.
“Karena apa?”
“Karena, sangat
menyakitkan saat akhirnya kita menemukan orang yang benar-benar kita cintai dan
kita inginkan untuk menjadi teman hidup kita, lalu menyadari bahwa kita harus
melepasnya.”
“Maksudmu?”
kening Rindu berkerut.
“Maksudku aku
tak ingin menyakiti hati orang yang kucintai dan mencintaiku, karena itu tolong
pergilah dariku.”
“Apa?? Jadi..”
Rindu tak meneruskan kata-katanya. Dihelanya napas berat dan bangkit dengan
lesu.
“Kukira malam
ini akan menjadi malam yang indah dan membahagiakan untuk kita. Tapi nyatanya
harapku keliru. Maaf sudah mengusikmu, tampaknya aku harus membuang rinduku
agar kau tak terganggu, bukan menahannya seperti yang kulakukan selama ini.”
Gadis hanya
nanar memandangi tubuh Rindu yang melangkah pergi. Dan sungguh, entah kenapa
Gadis mengutuki malam ini. Menguntuki malam di mana ia mengirimi pesan ucapan
selamat ulang tahun pada pria yang menjadi muara rindunya.
Dreet!!
Handphonenya
bergetar. Pesan.
Masih dengan
perasaan kosong Gadis membaca pesan tersebut. Hampa. Tiba-tiba rindu kembali
menyesakki ruang kalbunya. Ingin sekali ia berlari mengejar untuk kemudian
memeluk Rindunya. Tapi semua itu hanya sebatas ingin yang tak mungkin ia
lakukan.
“Rinduku, kenapa
harus ada gadis lain yang merinduimu dan kenapa kau tak pernah jujur jika telah
menjanjikan pernikahan padanya.” Bisik hati gadis, disekap hampa dan lara.
Dibiarkannya air mata menganaksungai di pipinya.
Saat bersamaan.
Di sudut lain kota itu, seorang perempuan tersenyum menang sambil memandangi layar
handphone-nya. Senyum yang lebih
mirip seringai.
“Dasar gadis
bodoh, mau saja percaya omonganku ahahahaaa!! Pria bodoh, sekarang kau nikmati rasanya ditolak orang
yang kau cintai. Siapa suruh menolak cintaku, ahahaaa…”
***
Inspirited
by : Muara Rindu
Kamar
ke-7, April-Mei’12
0 komentar :
Posting Komentar
komentar yg membangun yach..