MIMPI SYAKILA

Terkadang hidup menempatkan kita pada posisi yang sama sekali sulit untuk dijalani, bahkan untuk sekedar menghela nafaspun terasa amat berat. Lalu jiwa yang lemah ini hanya mampu diam, hanya mampu menatap kalangit-langit hidup yang teraniaya oleh rasa lelah…

Syakila meletakkan pena dan menutup buku hariannya, satu-satunya tempat baginya untuk dapat meluahkan segala kepenatan hidup sepuasnya.
“Kenapa belum tidur?”Clara teman satu kamarnya bertanya sambil kucek-kucek mata, ia terbangun karena mendengar suara radio yang dibunyikan syakila. Sudah jam 11.30 memang, tapi apa daya matanya belum bias terpejam.
“Belum ngantuk”jawabnya singkat.
“Bukannya besok kamu masuk pagi?”Clara bertanya lagi lalu kembali memejamkan matanya sebelum Syakila sempat menjawab. Syakila tak bergeming, pandangannya menerawang jauh pada tunpukan buku-buku dan diktat kuliahnya. Beberapa belum dibayar meski sebagian sudah. Itu yang menjadi pikirannya saat ini. Ia tak tau harus mencari uang kemana untuk membayar diktat-diktat itu. Apalagi saat ini keuangannya kian menipis sementara jadwal kepulangannya masih lama. Memang, ia tak perlu takut ditegur oelh dosen yang bersangkutan karena belum menbayar uang diktat, sita teman sekelasnya yang merupakan bendahara kelas sudah melunasi semua uang diktat mereka sekelas dengan memakai uang kas. Tapi tetap saja tiap hari ia harus mencari alasan agar terhindar dari omelan sita karena belum melunasi uang diktat, karena memang tinggal dirinya yang belum bayar.

Ia mematikan radio dan beranjak ke tempat tidur. Tapi tetap saja jiwanya masih berkeliaran entah kemana. Kadang kemasa-masa sekolahnya dulu yang penuh tawa dimana hidup dirasanya tak serumit saat ini, dimana hidupnya penuh dengan kecukupan. Lalu semuanya berubah saat ayahnya memutuskan berhenti bekerja karena penyakit yang ia derita tak dapat diajak kompromi lagi. Syakila terhenyak ketika itu.Bayangan hari esok yang kelam seakan terus menghantuinya. Jiwanya berontak, seakan tak ingin menerima semua kenyataan itu. Tapi memaksa ayah untuk terus bekerja juga bukanlah hal yang bijak. Ia paham betapa ayah juga tak menginginkan hal itu. Tak ada pilihan lain selain tetap menjalani sisah usia yang ada. Meski harus mereka lalui di desa tempat ibunya dibesarkan dulu. Sebuah desa yang terloetgak di pedalaman kabupaten Asahan, disitulah orang tuanya saat ini. Dan ia sendiri harus melewati waktu dalam kesendirian dikota ini.

Jika dituruti ia sangat benci berada disini, semuanya terasa asing. Ia tak menemukan apa-apa disini. Tak ada senyum tulus sahabat-sahabatnya ataupun wajah ibu yang selalu menguatkannya. Hanya wajah-wajah pewnuh keangkuhan yang ia dapati.
Sudah 2 bulan ia tidak pulang kampung. Sudah menggunung rindu yang ia tahan meski sebenarnya tgak tertahankan. Ah..ingin sekali rasanya ia mengakhiri kepenatan ini. Tapi rasa cintanya lebih kuat dari kepenatannya. Rasa cinta pada ayah dan bundanya yang membuatnya bertekad untuk tetap bertahan disini. Untuk mengubah jalan nasib mereka saaty ini. Ia sama sekali tak ingin jika dihari tua kedua orang tuanya dihabiskan dalam keterbatasan yang tak terbatas. Ia merasa sangat berdosa jika tidak mampu melepaskan keluarganya dari garis kemiskinan meski ibu selalu berkata bahwa jodoh, rezky dan maut ada ditangan-Nya. Ia menyadari hal itu, tapi setidaknya ia haris berusaha semaksimal mungkin untuk mengubah nasib mereka. Bukankah ayah pernah juga mengajarkan bahwa TUHAN tidak akan mengubah nasib seseorang sebelum orang tersebut mengubahnya. Syakila masih saja berdialog dengan hatinya.
Malam kian merambat, seiring bisik hati yang kian lelah untuk berucap. Syakila tertidur dalam jiwa yang terjaga. Dalam tidurnya, dikejauhan ia melihat wajah ayah bunda yang mulai menua. Ada garis-garis kepedihan hidup disana, syakila ingin menangis karenanya. Namun sebelum kristal bening itu benar-benar jatuh, tertangkap olehnya swenyum merekah kedua nya, senyum yang menguatkannya. Syakila berlari agar bisa segera memeluk mereka sekedar meluahkan kerinduan yang ada. Tapi sia-sia, tangan mungilnya tak mampuh merengkuh meski ia merasa amat dekat. Syakila lelah tapi ia tak boleh menyerah. Setidaknya ia masih bisa melihat wajah-wajah itu tersenyum padanya. Tak apa..meski dalam mimpi, itu saja sudah cukup baginya untuk ia rekam, ia jadikan pengobat rindu dan penguat langkahnya. Yah..itu saja sudah cukup.

Malam masih saja merambat seiring jiwa syakila yang tersenyum dalam mimpi kerinduan. Walau mungkin esok senyum itu sedikit terberai oleh omelan Sita yang kesal karena lagi-lagi ia belum membayar uang diktat itu. Ah..biarlah!


NB : Cerpen ini adalah cerpen pertama yang kukirim ke media cetak. sekaligus cerpen pertamaku yang di terbitkan. sekitar akhir 2007 di harian Medab Bisnis.
Share on Google Plus

About nebula

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com