CERPEN : MENCARI IBU


Kita tidak bisa meminta oleh siapa kita dilahirkan. Kita juga tidak tahu bagaimana kita meninggal kelak. Lalu pantaskah kematian dan penyebabnya menjadi acuan untuk membenci seseorang? Aku adalah manusia paling picik di dunia. Manusia sekaligus seorang anak yang tega membenci ibunya sendiri. Hanya karena orang-orang menyebut bahwa ibu yang telah melahirkannya meninggal karena penyakit yang dianggapnya nista. Aids.
Seumur hidup aku belum pernah melihat langsung wajah ibu. Masa kecilku hingga sekarang kuhabiskan di panti asuhan. Ibu pengasuh bilang, ibu menitipkanku delapan belas tahun lalu saat aku baru berumur sebulan. Beliau beralasan tak sanggup membiayai hidupnya dan aku sebab ayahku hanya seorang pemulung. Sampai detik itu tak sedikitpun aku membenci ibu. Aku paham keadaannya dan yakin ia sebenarnya tak menginginkan semua ini. Setahun silam, tepatnya saat umurku genap tujuh belas tahun. Ibu pengasuh memberitahuku tentang ibu. Beliau juga memberikan alamat beserta foto kedua orang tuaku. Tampak jelas dalam foto itu seorang wanita berkulit putih dan berambut ikal. Tersenyum dalam pelukan seorang lelaki jangkung yang juga berambut ikal. Ada damai di senyum keduanya. Ibu mengenakan baju renda-renda khas jaman dulu dengan bawahan rok di bawah lutut berbiku-biku. Sedangkan ayah mengenakan kemeja dan celana goyang khas pedangdut yang sering kulihat di TV. Kala itu aku bahagia sekali. Moment ulang tahun ke-tujuh belas menjadi ultah terindah dalam hidupku : dapat melihat wajah orang tuaku meski hanya melalui foto.
Pematang Siantar, itu nama kota yang tertera di secarik kertas yang diberikan ibu pengasuh padaku. Kota tempat aku akan bertemu dengan kedua orangtuaku. Semoga!
Sejak ultahku yang ke-tujuh belas itu aku kian semangat menjalani hari. Jadi giat menabung dengan harapan dapat menemui orangtuaku dengan hasil tabunganku. Semangatku tidak hanya sebatas menabung, tetapi juga belajar. Aku ingin orangtuaku tahu bahwa anaknya ini lumayan pintar. Setahun kemudian, saat teman-temanku sibuk mengikuti bimbingan untuk persiapan ujian tes masuk perguruan tinggi. Aku meminta ijin kepada pengurus panti asuhan untuk mencari orangtuaku. Pengurus panti mengijinkan. Bahkan beliau berkata bahwa aku boleh kembali jika tak menemukan orangtuaku. Jika orangtuaku ternyata masih tak sanggup membiayaiku. Pihak panti berniat menguliahkanku mengingat prestasiku yang selalu tiga besar selama di SMA.
*
Kutumpangi bus berkapasitas 18-20 orang menuju kota Siantar. Tiga jam perjalanan dari terminal bus Amplas, Medan ke Siantar. Tiga jam yang terasa sangat lama. Sepanjang jalan yang terlintas di pikiranku hanyalah bayangan wajah ibu dan ayah. Bergantian dengan rentetan masa lalu yang kulewati tanpa mereka. Tujuh belas tahun kulalui hanya dengan mereka-reka seperti apa wajah ibu-ayahku. Satu tahun kulewati dengan memandangi fotonya. Delapan belas tahun kulalui dengan rindu. Rindu belaian seorang ibu, rindu tatapan hangat seorang ayah. Rindu.
“Turun di mana kau dek?” seorang kernet dengan logat bataknya mengagetkanku. Melamun aku rupanya.
“Siantar, bang.”
“Bah kenapa masih di sini. Mau ikut ke Medan lagi?” Ternyata tinggal aku seorang di bus. Bergegas aku turun sambil tetap tersenyum pada kernet berwajah sangar yang kutahu pasti hatinya baik. Tipikal orang lokal sekali, pikirku.
Untuk pertama kalinya kuinjakkan kaki di bumi Siantar dengan semangat yang sulit kugambarkan. Sebuah bangunan megah berwarna merah yang merupakan tempat perbelanjaan menyambutku.
“Becak dek!” kembali aku disadarkan dari lamunan. Aku menggeleng tanda menolak. Sejenak aku bingung hendak kemana. Hari sudah gelap dan perutku keroncongan. Segera kucari warung nasi terdekat.
“Nanti saja kupikirkan sambil makan, hendak kemana aku pergi” batinku
*
Jalan Akasia no 14 Pematang Siantar, itu tulisan yang tertera di balik satu-satunya foto kedua orang tuaku yang kupunya. Kembali aku bingung hendak memulai pencarian dari mana. Apalagi ketika kusadari bahwa kemungkinan besar alamat itu sudah tidak ada lagi atau berubah nama. Sebab aku yakin Siantar juga termasuk salah satu kota yang mengalami dampak pembangunan dan kemajuan zaman.
“Berapa bu?” tanyaku pada pemilik warung.
“Delapan ribu dek!”
“Maaf bu, ibu tahu alamat ini?” sambil menyodorkan uang aku bertanya.
“Jalan Akasia no 14 Pematang Siantar,” ibu tersebut membaca tulisan itu sambil menunjukkan raut wajah berpikir.
“Zal kau tahu alamat ini?” seorang cowok berbadan atletis dan berpakaian lusuh yang tadi makan di samping mejaku mendekat. Dilihatnya sekilas alamat itu, ditatapnya aku dan mengangguk dengan mata yang masih bertaut denganku.
“Sebaiknya kau antar adik ini ke alamat tersebut, Zal!” suara ibu itu membuat kami sama-sama tergagap. Pria itu kembali mengangguk.
Aku menatap ragu ke pria yang dipanggil Izal itu. Mencoba berdialog dengan matanya. Terus terang aku sedikit was-was, hari gini masih ada orang yang berbaik hati dengan orang tak dikenal. Jangan-jangan ada udang di balik batu, pikirku.
“Kau boleh mempercayaiku jika mau. Izal!” seraya mengulurkan tangan ia berucap. Aku masih bingung menentukan sikap. Alhasil kubiarkan tangannya terulur agak lama.
“Jangan takut dek, Izal tahu setiap sudut kota ini. Ia tak akan menyelakaimu. Meskipun penampilannya seram, hatinya baik kok. Ibu jamin!” ibu itu berusaha meyakinkan.
“Rhea” ucapku akhirnya.
“Siapa orang-orang dalam foto itu?”
Dan cerita itu pun mengalir begitu saja. Rasa was-was yang tadi sempat melanda hilang perlahan. Aku sendiri tak tahu kenapa bisa dengan mudah menceritakan kisahku padanya. Sifatnya yang cool tak membuatku takut, malah senang. Aku melihat kedamaian di sorot matanya yang tajam dan dalam. Kedamaian dan juga kerinduan. Yah aku melihat kerinduan di matanya. Kerinduan yang kurasa sama dengan yang kumiliki. Mungkin itu sebabnya aku merasa tak takut dengannya.
“Sekarang gantian kau yang cerita,” ucapku di akhir cerita. Izal gelagapan.
“Aku?! Mmm… apa yang harus kuceritakan?! Aku tak punya cerita.”
“Ah kau curang! Setiap orang pasti punya cerita masing-masing.”
“Aku tak tahu harus bagaimana bercerita.”
“Kau bisa memulainya dari keadaanmu sekarang. Kenapa kau menjadi seperti sekarang ini?”
 “Ok! Aku lahir di Medan. Melewati masa kecil dengan penuh kemewahan namun kurang akan cinta dari keluarga. Seperti cerita sinetron, orangtuaku bercerai saat aku berumur dua puluh tahun. Mereka memperebutkanku. Aku benci diperebutkan. Apalagi dengan alasan mereka sangat menyayangiku. Kalau memang sayang, kenapa harus berpisah? Kenapa tak mencoba berdamai demi aku? Aku memilih pergi meninggalkan semuanya, rumah mewah, mobil, kuliah dan keluarga.” Laki-laki di hadapanku itu menatap kosong ke langit tanpa bintang.
“Sudah berapa lama kau hidup seperti ini?”
“Empat tahun.”
“Dan selama itu kau tak pernah punya niat untuk kembali?”, cowok itu menggeleng.
“Jujur aku kagum padamu. Meski kau ditinggal dan ditelantarkan oleh orang tuamu, kau masih memaafkan dan mencari mereka. Sedangkan aku, aku belum bisa seperti itu. Aku menyayangi mereka sebagai orangtuaku, tapi juga benci keegoisan mereka.”
“Tiap orang punya alasan untuk membenci ataupun memaafkan. Tapi bagaimanapun mereka tetaplah orang tua kita.” Aku berkata sok bijak.
“Semoga suatu saat aku bisa sepertimu. O, ya sudah malam, sebaiknya kau istirahat dulu di tempatku. Besok baru kita mulai pen carian.” Aku mengikuti langkah Izal meninggalkan warung itu.
*
Kupandang bangunan pertokoan di depanku. Harapan untuk memandang senyum ibu sirna sudah. Tanpa kusadari, foto Ayah dan Ibu terlepas dari genggamanku. Izal mengusap-usap pundakku. Menyemangati. Aku berbalik gontai.
 “Maaf nak, kau kah pemilik foto ini?”, seorang laki-laki berpakaian kumal menahan langkah kami. Aku mengangguk. Tanpa diminta aku bercerita.
“Mereka orang tua saya pak. Seumur hidup saya belum pernah bertemu mereka. Sepertinya memang tak boleh ketemu pak! Sebab alamat yang tertera dalam foto itu kini sudah berubah menjadi pertokoan ini”. Airmataku tak terbendung.
“Sepertinya saya mengenal orang dalam foto ini.” Kalimat pria tua tersebut bak oase di padang pasir. Tanpa dikomando ia mulai bertutur.
 “Ayahmu adalah temanku sesama pemulung. Beruntung ayahmu memiliki istri yang sangat cantik dan baik. Ia selalu setia meski materi tak berlimpah. Mereka tinggal bertiga dengan nenekmu. Masalah hadir ketika ayahmu terkena tuberculosis sedangkan ibumu hamil tua. Tak banyak yang dapat dilakukan selain pasrah. Ketika kau lahir beban hidup semakin berat saja.” Ia menghentikan ceritanya.
“Lalu?!”, aku tak sabar.
“Suatu ketika mereka pergi beberapa hari dan pulang tanpa membawamu serta. Katanya kau mereka titipkan pada salah satu keluarga di Medan yang berkecukupan. Sakit ayahmu semakin parah saja. Apalagi sehari-hari ia tetap memulung. Dua tahun bergelut dengan tuberculosis, raganya kalah. Ayahmu meninggal saat sedang memulung.” Seketika dadaku terasa sesak mendengar ceritanya. Izal menggenggam tanganku erat.
“Tujuh tahun kemudian ibumu menyusul ayahmu dan”... ceritanya terhenti sebab tangisku pecah. Lemah kurasa tubuhku hingga terduduk di tanah berdebu. Kejam nian kurasa kehidupan ini padaku.
Ia melanjutkan ceritanya ketika dilihatnya aku mulai tenang. “Sepeninggal ibumu, nenekmu pun uring-uringan karena malu. Tetangga mengucilkannya. Ia meninggal enam bulan kemudian. Karena malu juga, paklekmu menjual tanah dan rumah peninggalan nenekmu. Aku tak tahu di mana paklekmu tinggal.”
“Malu?”
“Ya.. Malu karena karena ibumu meninggal akibat penyakit Aids.” Bagai tersambar petir rasanya. Tangis kesedihanku terhenti. Berganti dengan tangis yang tak kutahu namanya.
 “Hahaha… Aids?! Ahahaha..” Aku tertawa tapi airmataku tetap mengalir. Entah apa yang kurasa. Perih, pilu, kecewa, marah, benci. Ternyata aku terlahir dari rahim seorang wanita penderita Aids. Aha hai..memalukan sekali. Tiba-tiba aku menyesal. Menyesal telah mencarinya. Menyesal telah merindukannya selama umurku. Menyesal kenapa tak sedari awal aku membencinya. Sejak ia membuangku ke panti asuhan.
“Zal... ibuku! Ibuku meninggal karena Aids. Aku akuu... mempunyai ibu seorang pelacur. Pelacur ha ha ha hiks..hiks!”, aku menceracau. Kacau. Orang-orang melihat kami. Aku tak peduli. Aku benci. Benci dengan takdirku.
“Rhe, pengidap Aids bukan berarti pelacur. Lagi pula kamu sendiri kan yang bilang. Apapun dan bagaimanapun mereka tetaplah orang tua kita.” Izal menenangkan. Tapi tetap hatiku berkecamuk.
“Bawa aku pergi dari sini Zal.” Izal menuntunku pergi. Amarahku belum mereda. Bayangan senyum ibu kutepis dengan sinis. Aku jadi sangat membenci sosok itu. “Tuhan, kenapa Kau beri aku titik terang jika akhirnya justru menyakitkan?”
Langkah kami menjauh.
“Nak tunggu! Ada yang harus kalian ketahui lagi”, suara pria tua itu menahan kami lagi.
“Apalagi pak?”
“Aku tak tahu kenapa bukan aku saja yang dicabut nyawanya. Kenapa harus ibumu. Padahal aku memiliki penyakit yang sama dengan ibumu. Barangkali Tuhan ingin agar aku menceritakan kebenaran ini.”
Kening kami berkerut. “Maksud bapak?”
“Sama sepertimu, orang-orang menganggap ibumu perempuan tak baik karena penyakitnya. Padahal justru sebaliknya. Akulah yang bajingan. Aku yang menularkan penyakit laknat itu. Tak lama setelah ayahmu meninggal, aku memperkosa ibumu saat ia sendirian di rumah.”
“Apa??!!!”
“Dasar laki-laki biadab! Tega-teganya kau memperkosa ibuku! Tak punya hati! Keparat!...”, aku memukul-mukul tubuhnya. Entah sumpah serapah apalagi yang kuucapkan. Semakin banyak orang yang menonton kami. Aku tak peduli. Izal mencoba menahanku. Tetap tak bisa  kutahan emosi ini. Pria tua itu tak melawan. Aku terus saja memukul dan memakinya. Wajah ibu hadir dalam pikiranku. Kembali aku didera rindu tak tertahankan. Ah Ibu! Maafkan anakmu, telah berpikiran buruk padamu.
Pandanganku gelap. Pekat. Tubuhku ambruk. Ibu, ayah, aku rindu.
***
Medan, Juli 2010
Terbit di Harian Analisa Medan, Rabu 14 Mei 2014
Share on Google Plus

About nebula

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com