Love By War

Hujan mengguyur kota medan. Disya yang sedang bekerja shift siang was-was. Ia takut kalau kalau listrik padam.
Pekerjaannya sebagai penjaga warnet memang sangat bergantung dengan PLN. Walaupun sesungguhnya tidak sepenuhnya bergantung. Ada dua genset disediakan oleh bosnya untuk mengantisipasi kalau listrik padam. Tapi tetap saja ia was-was sebab ia tak tahu cara menghidupkan genset.
Dilihatnya monitor di depannya. Ada lima komputer yang hidup. Tapi banyak sekali orang di ruangan itu. Suasana sangat gaduh. Lima orang pelanggan yang semuanya laki-laki asyik memainkan mousenya. Sementara itu yang lainnya menyoraki permainan mereka.
“Kenapa sih nih warnet nyediain game online?! Sudah gitu, yang main banyak yang kurang etika lagi. Huh!!” Disya menggerutu dalam hati.
Sejam berlalu. Hujan tak jua berhenti. Warnetnya bukan tambah sepi, melainkan tambah sesak ia melihatnya. Parahnya yang main cuma lima orang tadi. Parahnya lagi ruangan itu jadi kotor karena orang-orang yang baru datang dengan alas kaki yang basah dan meninggalkan noda di lantai.
 “Diamlah kau!” di antara deras suara hujan ia tersentak oleh kalimat barusan. Berasal dari komputer nomor tiga. Anzar, pelanggan rutin pemilik suara barusan.
“Siapa pula kau nyuruh aku diam?!” balas pria di belakangnya
Nggak usah berisik kalau nggak main” balasnya lagi
“A#!&%*…”
“+@!%*...”
Benci sekali Disya mendengar kalimat-kalimat barusan. Tak sopan.
“Tolong jaga sikap dong!” ia berusaha sabar
“Usir aja nih. Bukannya main malah bikin ribut”
“Eh punya mulut jangan kayak perempuanlah!”
“Jaga sikap atau kalian berdua keluar” tegasnya. Keduanya diam.
Disya kembali ke mejanya sambil menarik napas legah. Dilanjutkannya menulis ketikkan yang tinggal sedikit lagi. Tak berapa lama keributan kembali muncul. Masih dari orang yang sama.
“Pintu terbuka lebar. Jadi tolong kalian berdua keluar”
Enak aja, dia yang mulai duluan!” Anjar membela diri
“Keluar!!” suara Disya meninggi.
“Eh, kamu tuh cuma kerja di sini! Jadi nggak usah sok galak. Untung ada yang nerima kamu kerja” Disya tak menyangka Anjar mengucapkan kalimat itu. Anjar yang dikenalnya temperament tapi juga baik padanya. Anjar yang selalu mengatakan kalau dirinya manis jika sedang tersenyum. Anjar yang…
“Ada apa ini?!” Tiba-tiba saja mas Edy, pemilik warnet itu sudah berada di tengah-tengah mereka.
“Tanya nih sama dia!” Anjar berkata sambil menunjuk ke wajahnya. Tiba-tiba Disya merasa seperti terdakwa.
“Punya karyawan kok nggak becus. Dipecat aja mas” seraya berlalu Anjar menambahkan.
Disya terdiam kaku di depan monitor. Di luar mas Edy masih berusaha membujuk Anjar dan temannya berantem tadi untuk memaafkan sikap Disya. Tak berapa lama Anjar masuk lagi dengan tatapan kemenangan pada Disya.
Jam empat soreh. Hujan menyisahkan gerimis. Melanjutkan derasnya di hati Disya. Yah… hati Disya sedang hujan. Hujan airmata. Ia tak menyangka kalau hari ini adalah hari terakhirnya bekerja. Mas Edy langsung memecatnya gara-gara kejadian dirinya mengusir Anjar dan temannya. Susah payah ia memberi penjelasan kalau ia mengusir Anjar dan temannya dengan alasan kuat. Mereka membuat keributan dan mengganggu kenyamanan pelanggan yang lain. Terlebih lagi mereka mengeluarkan kata-kata kotor. Tetap saja keputusan mas Edy tak berubah. Mas Edy memang selalu mengingatkan dirinya agar menomorsatukan pelanggan.
“Tapi mereka kan membuat keributan dan pelanggan lain terganggu. Salah kalau aku mengusir mereka?!” dalam langkah gontainya Disya bertanya pada dirinya sendiri.
“Anjar! Teganya kau buat semua ini. Tak tahukah kau aku sangat membutuhkan pekerjaan ini” hatinya berbisik lirih
*
Sebulan berlalu. Disya belum juga mendapat pekerjaan baru. Banyak hal yang harus ia ubah karena kehilangan pekerjaan. Pertama ia harus rela tak makan siang karena budget makan siang ia gunakan untuk biaya rental komputer dan internet untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Kedua, tiap hari ia harus jalan dari simpang kampus hingga ke kampusnya. Pasalnya tak ada angkot dari rumahnya yang langsung ke kampusnya di jalan Willem Iskandar. Biasanya ia nyambung dari simpang kampus. Demi menghemat biaya ia rela jalan kaki saat pulang dan pergi kuliah. Disya tak ingin membebani orang tuanya. Ia selalu tak tega jika ingin membawa bekal nasi (bontot) ke kampus. Sebab seringkali keempat adiknya berebut makan siang. Tak tega ia jadinya. Untuk kebutuhan kuliahnya ia hanya mengharapakan teman-temannya selalu mengisi pulsa elektrik padanya. Itulah harapan satu-satunya. Ponsel dengan layar berwarna kuning itu tempatnya menggantung asa. Meski untungnya kecil tapi sangat membantunya.
Siang itu sangat terik. Hanya ada dua mata kuliah yang harus diikuti Disya hari itu. Artinya pukul 11.40 WIB ia sudah bisa pulang ke rumah. Seperti biasa ia berjalan dari fakultasnya ke simpang kampus. Disya mandi keringat. Untung kemejanya berwarna hitam hingga tak tampak basahnya. Saat sedang cengar-cengir menahan terik matahari seseorang menarik tangannya. Menyuruhnya naik ke boncengannya. Disya bingung tapi nurut saja. Lelaki dengan helm menutupi wajahnya itu menghentikan sepeda motornya di sebuah warung pinggir jalan. Warung penyedia kelapa muda itu terlihat tak begitu ramai. Hanya ada tiga pasang muda-mudi menikmati segarnya es kelapa muda. Pria itu belum membuka helmya. Dengan santai ia menggandeng tangan Disya ke dalam warung. Lagi-lagi Disya nurut saja.
“Kamu siapa sih?” akhirnya pertanyaan itu muncul ketika rasa penasarannya memuncak.
Pria itu membuka helmnya. Alangkah terkejutnya ia melihat wajah pria itu. Buru-buru Disya bangkit dan hendak pergi.
“Sya dengar penjelasanku dulu!” pria itu menggapai tangannya
Nggak ada yang harus dijelaskan Njar!” gadis itu menepis tangan Anjar.
Anjar mengejarnya dan kembali menggenggam tangannya.
“Sya tolong jangan buat aku tersiksa seperti ini!”
Disya diam
“Aku tak menyangka mas Edy akan benar-benar memecatmu. Sungguh aku tak pernah bermaksud melukaimu. Aku sengaja buat keributan sebenarnya untuk…menarik perhatianmu” Disya kaget mendengar penjelasan Anjar
“Menarik peratianku??! Maksudmu...??”
“Aku menyukaimu Sya! Sejak pertama kali melihatmu di warnet aku sudah jatuh hati. Sayangnya kamu terlalu cuek padaku. Itu sebabnya aku sering menggodamu dan membuat keributan. Tapi sungguh Sya, aku tak bermaksud membuatmu kehilangan pekerjaan”
Disya masih tak percaya pada apa yang didengarnya.
“Begitu tau kamu dipecat. Penyesalan melandaku. Sungguh aku tak menyangka tingkah isengku justru menyakiti gadis yang aku sayangi. Aku mencarimu Sya..”
Sebenarnya ia sangat ingin marah pada Anjar. Tapi entah mengapa ia kehilangan kata-kata. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana atas kejujuran cowok itu.
“Sya!” Disya tersadar dari lamunannya
“Lepaskan tangaku Njar! Aku mau pulang”
“Tak akan kulepaskan sebelum kamu memaafkanku dan mengijinkanku masuk dalam hari-harimu”
“Maksudmu…” Disya semakin tak mengerti
“Aku sungguh-sungguh menyayangimu Sya. Tolong biarkan aku meringankan bebanmu”
Disya semakin diam. Semakin tak mengerti harus berkata apa. Akhirnya ia hanya bisa tersenyum. Senyum termanis yang pernah ia beri untuk Anjar. Sejak saat itu Disya tak perlu lagi berjalan dari simpang kampus. Sebab Anjar selalu setia mengantar dan menjemputnya. Anjar juga selalu membawakan makan siang untuknya. Jika ada waktu luang, mereka berdua menghabiskan waktu di Distro milik Anjar. Sesekali mereka pergi ke warnet berdua. Mengenang masa lalu yang menyatukan mereka kini.
***

NB : Cerpen ini dimuat di harian Waspada edisi Minggu, 03 April'2011
Share on Google Plus

About nebula

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com