Anak Baik Oh Anak Baik

-->
Quelle Idee
“Nyesal kuliah.”
Deg!!
Tersentak aku mendengar ucapan si kawan. Aku pun tanpa sadar nyeletuk.
“Kamu sih terlalu baik jadi mahasiswa. Jangan baik-baik kali, dosen-dosen itu mana dilihatnya kita baik atau nggak.”
Usai berkata begitu kulihat ia cuma diam. Aku pun diam. Ceritanya begini, bukan maksud ngajarin yang nggak bener ama temen. Cuma memang, temenku itu terlalu. Tidak bisa dikatakan terlalu baik sih. Karena sampai saat ini, aku masih belum tau apa indikator seorang mahasiswa dikatakan baik. Namun, berdasarkan penilaian asal-asalanku, dia bisa dikategorikan mahasiswa baik. Datang tepat waktu, berpakaian sopan, mengerjakan tugas, membeli buku-buku anjuran dosen, bahkan jatah absen tiap semester pun nyaris tak pernah ia gunakan. Meskipun ia anak UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan memegang jabatan penting dalam UKM tersebut, tetap saja kuliah nomor satu.
Masalah keenceran otak, itu yang aku masih belum bisa menjawab meski sudah beberapa tahun mengenalnya. Yang kutau, dia anaknya patuh. Nggak neko-neko. Dan karena kepatuhannya itulah, ia cenderung pasif. Di sini mungkin letak salahnya temenku (jika boleh dikatakan kesalahan). Karena dia sangat diam di kelas. Dosen-dosen banyak tak mengenalnya. Di awal-awal kuliah pun (dua tiga tahun pertama), ia sering mengeluhkan selalu tak mendapatkan teman kelompok. Saat harus mengulang mata kuliah yang mendapat nilai E, atau ketika harus mengambil SKS ke bawah, para adik kelas pun banyak yang seperti menokohi dia (dibodoh-bodohi/jadi bulan-bulanan). Ia pun kerap berucap emosi dengan mimik hendak menangis ketika menurutnya teman-teman kelompoknya melimpahkan semua tugas kelompok padanya. Ketika adik stambuk menyuruh-nyuruhnya untuk datang (secara harusnya adik stambuk yang datang menemuinya, ini malah kebalik).
Sedih juga aku melihatnya. Beberapa kelebihannya tertutupi oleh satu kekurangan yang sebenarnya tak perlu ada andai saja ia mau berubah. Kekurangan yang berakibat fatal buatnya.
Sebagai seorang teman, aku bukan tak pernah memberinya masukan agar dia harus lebih aktif di kelas. Bukan apa-apa, banyak mahasiswa yang sebenarnya tak pintar secara akademis. Namun karena ia cakap di kelas, dosen tak sungkan memberinya nilai tinggi. Ini masuk akal karena memang kecakapan sangat dibutuhkan di samping keenceran otak. Tapi entah kenapa kawanku yang satu ini termasuk orang yang jiwanya bandel. Tak mudah berubah meski lingkungan sekitarnya memaksa berubah. Meski sudah masuk dunia organisasi kampus, tetap saja ia pasif saat rapat. Tiap ditanya pendapat, cuma senyam senyum nggak jelas. Kawan-kawan laen juga sudah teramat sering mensupportnya agar menurunkan harga suaranya. Bahwa suara mahal tak menjamin kesuksesan. Bahwa meski harga emas mahal dan diam itu katanya adalah emas, tetap saja diam adalah kebiasaan yang merusak fungsi otak.
Barusan aku baru tau kalau IPK temanku itu 2,74. Oh MG, nelangsa sekali memang. Standart IPK saat ini adalah 2,75. Ya ampun, kurang 0,01, apa nggak nyesek kali rasanya. Mata kuliahnya sudah habis –tinggal skripsi-, jadi tak ada kesempatan untuk memperbaiki nilainya. Kemarin ia masih berharap kalau nilai C masih bisa diulang/diperbaiki. Ia bahkan sudah berencana untuk mengambil mata kuliah yang C agar bisa memperbaiki IPK. Namun harapannya pupus kala tau ternyata nilai C tak dapat diperbaiki (kami menyebutnya dengan istilah ‘dibawa mati’ karena tak dapat diperbaiki”. Aku mencoba menyemangatinya kalau masih ada satu lagi harapan, mendapat nilai A saat siding meja hijau. Namun menurutnya hal itu mustahil karena jurusan kami sangat susah untuk mendapat nilai A. saat itulah terucap olehnya kata-kata kalau ia menyesal telah kuliah. Ada nada putus asa dalam ucapannya. Aku mengerti bagaimana perasaannya. Ia merasa semua usahanya sia-sia. Percuma menjadi mahasiswa yang nggak neko-neko, nyatanya IPK nya rendah. Begitulah pemikirannya.
Sebenarnya, ini kedua kali aku mendengar kawanku itu menyesali apa yang sudah ia pilih dan jalani di masa lalu. Sebelumnya ia pernah mengeluhkan penyesalannya karena menjadi siswa baik-baik saat masih sekolah. Menurutnya, hidupnya jadi datar. Masa sekolahnya tidak seseru cerita yang ia dengar dari teman-temannya. Sungguh aku kasihan dengannya. Tapi mau bagaimana lagi, ia toh tetap tak mendengarkan saran-saran kami. Ia ingin hidupnya berwarna namun tak mau keluar dari mindset ‘anak baik’ yang menurutku keliru. Anak baik bukanlah ia yang hanya menerima begitu saja apa yang sudah dipilihkan untuknya serta apa yang telah berlaku padanya. Anak baik adalah ia yang tahu apa yang akan ia lakukan untuk hidupnya. Tahu hendak melangkah kemana. Tak ragu untuk menempuh jalan lain atau bahkan menciptakan jalan baru di luar jalan yang sudah dipilihkan untuknya.
***
Kamar ke-7, 05 Jul’12
Share on Google Plus

About nebula

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar

komentar yg membangun yach..

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com